Sang Pemimpi Andrea Hirata Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dahsyat kataklismik. Menggelegak sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membubung di atasnya, langit terbelah dua. Di satu bagian langit, matahari rendah memantulkan uap lengket yang terjebak ditudungi cendawan gelap gulita, menjerang pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan ultraviolet menari-nari di atas permukaan laut yang bisu bertapis minyak, jingga serupa kaca-kaca gereja, mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti reign of fire, lingkaran api. Dan di sini, di sudut dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku terkurung, terperangkap, mati kutu. Aku gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama punchbag yang dihantam beruntun seorang petinju. Berjingkat- jingkat di balik tumpukan peti es, kedua kakiku tak teguh, gemetar. Bau ikan busuk yang merebak dari peti-peti amis, di ruangan yang asing ini, sirna dikalahkan rasa takut. Jimbron yang tambun dan invalid—kakinya panjang sebelah—terengah-engah di belakangku. Wajahnya pias. Dahinya yang kukuh basah oleh keringat, berkilatkilat. Di sampingnya, Arai, biang keladi seluruh kejadian ini, lebih menyedihkan. Sudah dua kali ia muntah. la lebih menyedihkan dari si invalid itu. Dalam situasi apa pun, Arai selalu menyedihkan. Kami bertiga baru saja berlari semburat, pontang-panting lupa diri karena dikejar- kejar seorang tokoh paling antagonis. Samar-samar, lalu semakin jelas, suara langkah sepatu terhunjam geram di atas jalan setapak yang ditaburi kerang-kerang halus. Kami mengendap. Tersengal Arai memberi saran. Seperti biasa, pasti saran yang menjengkelkan. "Ikal.... Aku tak kuat lagihhh.... Habis sudah napasku.... Kalian lihat para-para itu...?" Aku menoleh cepat. Dua puluh meter di depan sana teronggok reyot pabrik cincau dan para-para jemuran daun cincau. Cokelat dan doyong. Di berandanya, dahan-dahan bantan merunduk kuyu menekuri na- sib anak-anak nelayan yang terpaksa bekerja. Salah satunya aku kenal: Laksmi. Seperti laut, mereka diam. Dangdut India dari kaset yang terlalu sering diputar meliuk- liuk pilu dari pabrik itu. "Lompati para-para itu, menyelinap ke warung A Lung, dan membaur di antara para pembeli tahu, aman Aku meliriknya kejam. Mendengar ocehannya, ingin rasanya aku mencongkel gembok peti es untuk melempar kepalanya. "Hebat sekali teorimu, Rai! Tak masuk akal sama sekali! Jimbron mau kauapakan??!!" Jimbron yang penakut memohon putus asa. "Aku tak bisa melompat, Kal...." Lebih tak masuk akal lagi karena aku tahu di balik para-para itu berdiri rumah turunan prajurit Hupo, Tionghoa tulen yang menjadi paranoid karena riwayat perang saudara. Ratusan tahun mereka menanggungkan sakit hati sebab kalah bertikai. Dulu, bersama Cina Kuncit, mereka jadi antek Kumpeni, ganas menindas orangorang Kek. Kini dimusuhi bangsa sendiri, dikhianati Belanda, dan dijauhi orang Melayu membuat mereka selalu curiga pada siapa pun. Tak segan mereka melepaskan anjing untuk mengejar orang yang tak dikenal. Aku hafal lingkungan ini karena sebenarnya aku, Jimbron, dan Arai tinggal di salah satu los di pasar kumuh ...." ini. Untuk menyokong keluarga, sudah dua tahun kami menjadi kuli ngambat—tukang pikul ikan — di dermaga. Semuanya memang serba tidak masuk akal. Bagaimana mungkin hanya karena urusan sekolah kami bisa terperangkap di gudang peti es ini. Aku mengawasi sekeliling. Pancaran matahari menikam lubang-lubang dinding papan seperti batangan baja stainless, menciptakan pedang cahaya, putih berkilauan, tak terbendung melesat-lesat menerobos sudut-sudut gelap yang pengap. Aku mengintip keluar, 15 Agustus 1988 hari ini, musim hujan baru mulai. Mendung menutup separuh langit. Pukul empat sore nanti hujan akan tumpah, tak berhenti sampai jauh malam, demikian di kota pelabuhan kecil Magai di Pulau Belitong, sampai Maret tahun depan. Semuanya gara-gara Arai. Kureka perbendaharaan kata kasar orang Melayu untuk melabraknya. Tapi lamat-lamat berderak mendekat suara sepatu pantofel. Aku mundur, tegang dan hening, keheningan beraroma mara bahaya. Arai menampakkan gejala yang selalu ia alami jika ketakutan: tubuhnya menggigil, giginya gemeletuk, dan napasnya mendengus satu-satu. Bayangan tiga orang pria berkelebat, memutus sinar stainless tadi dan sekarang pemisah kami dengan nasib buruk hanya beberapa keping papan tipis. Ketiga bayangan itu merapat ke dinding, dekat sekali sehingga What a Wonderful World tercium olehku bau keringat seorang pria kurus tinggi bersafari abu-abu. Ketika ia berbalik, aku membaca nama pada emblem hitam murahan yang tersemat di dadanya: MUSTAR M. DJAI'DIN, B.A. Aku tercekat menahan napas. Sebelah punggungku basah oleh keringat dingin. Dialah tokoh antagonis itu. Wakil kepala SMA kami yang frustrasi berat. Ia Westerling berwajah tirus manis. Bibirnya tipis, kulitnya putih. Namun, alisnya lebat menakutkan. Sorot matanya dan gerak-geriknya sedingin es. Berada dekat dengannya, aku seperti terembus suatu pengaruh yang jahat, seperti pengaruh yang timbul dari sepucuk senjata. Pak Mustar menyandang semua julukan seram yang berhubungan dengan tata cara lama yang keras dalam penegakan disiplin. Ia guru biologi, Darwinian tulen, karena itu ia sama sekali tidak toleran. Lebih dari gelar B.A. itu ia adalah suhu tertinggi perguruan silat tradisional Melayu Macan Akar yang ditakuti. "Berrrrandalll!!" Ia menekan dengan gusar hardikan khasnya, menjilat telunjuknya, dan menggosok-gosokkan telunjuk itu untuk membersihkan emblem namanya yang berdebu. Aku melepaskan napas yang tertahan ketika ia membalikkan tubuh. Sebenarnya Pak Mustar adalah orang penting. Tanpa dia, kampung kami tak 'kan pernah punya SMA. la salah satu perintisnya. Akhirnya, kampung kami memiliki Sebuah SMA, sebuah SMA Negeri! Bukan main! Dulu kami harus sekolah SMA ke Tanjong Pandan, 120 kilometer jauhnya. Sungguh hebat SMA kami itu, sebuah SMA Negeri! Benar-benar bukan main! Namun, Pak Mustar berubah menjadi monster karena justru anak lelaki satusatunya tak diterima di SMA Negeri itu. Bayangkan, anaknya ditolak di SMA yang susah payah diusahakannya, sebab NEM anak manja itu kurang 0,25 dari batas minimal. Bayangkan lagi, 0,25! Syaratnya 42, NEM anaknya hanya 41,75. Setelah empat puluh tahun bumi pertiwi merdeka akhirnya Belitong Timur, pulau timah yang kaya raya itu, memiliki sebuah SMA Negeri. Bukan main. SMA ini segera menjadi menara gading takhta tertinggi intelektualitas di pesisir timur, maka ia mengandung makna dari setiap syair lagu "Godeamus Igitur" yang ketika mendengarnya, sembari memakai toga, bisa membuat orang merasa IQ-nya meningkat drastis beberapa digit. Pemotongan pita peresmian SMA ini adalah hari bersejarah bagi kami orang Melayu pedalaman, karena saat pita itu terkulai putus, terputus pula kami dari masa gelap gulita matematika integral atau tata cara membuat buku tabelaris hitung dagang yang dikhotbahkan di What a Wonderful World SMA. Tak perlu lagi menempuh 120 kilometer ke Tanjong Pandan hanya untuk tahu ilmu debet kredit itu. Karena itu berbondong-bondonglah orang Melayu, Tionghoa, Sawang, dan orang-orang pulau berkerudung ingin menghirup candu ilmu di SMA itu. Tapi tak segampang itu. Seorang laki-laki muda nan putih kulitnya, elok parasnya, Drs. Julian Ichsan Balia, sang Kepala Sekolah, yang juga seorang guru kesusastraan bermutu tinggi, di hari pendaftaran memberi mereka pelajaran paling dasar tentang budi pekerti akademika. "... Ngai mau sumbang kapur, jam dinding, pagar, tiang bender a ...," rayu seorang tauke berbisik agar anaknya yang ber-NEM 28 dan sampai tamat SMP tak tahu ibu kota provinsinya sendiri Sumsel, mendapat kursi di SMA Bukan Main. "Aha! Tawaran yang menggiurkan!!" Pak Balia meninggikan suaranya, sengaja mempermalukan tauke itu di tengah majelis. "Seperti Nicholas Beaurain digoda berbuat dosa di bawah pohon?! Kau tahu 'kan kisah itu? 'Gairah Cinta di Hutan'? Guy de Maupassant?" Sang tauke tersipu. Dia hanya paham sastra sempoa. Senyumnya tak enak. "Bijaksana kalau kausumbangkan jam dindingmu itu ke kantor pemerintah, agar abdi negara di sana tak bertamasya ke warung kopi waktu jam dinas! Bagaimana pendapatmu?" Kapitalis itu meliuk-liuk pergi seperti dedemit dimarahi raja hantu. Dan saat itulah Pak Mustar, sang jawara yang temperamental, tak kuasa menahan dirinya. Tanpa memedulikan situasi, di depan orang banyak ia memprotes Pak Balia, atasannya sendiri. "Tak pantas kita berdebat di depan para orangtua murid. Bicaralah baik-baik ...," bujuk Pak Balia. Pak Mustar yang merasa memiliki SMA itu menatapnya dari atas ke bawah, artinya kurang lebih, "... Sok idealis. Anak muda bau kencur, tahu apa ...." Benar saja. "Saya berani bertaruh, angka 0,25 tidak akan membedakan kualifikasi anak saya dibanding anak-anak lain yang diterima, apalah artinya angka 0,25 itu?!" Anak saya, kata-kata yang ditindas kuat oleh Pak Mustar. Semua keluarga, dari suku mana pun, menyayangi anak. Namun, anak lelaki bagi orang Melayu lebih dari segala-galanya, sang rembulan, permata hati. Ayahku, yang mengantarku saat pendaftaran itu, berusaha membekap telingaku dan telinga Arai, anak angkat keluarga kami, agar tak mendengar pertengkaran yang sungguh tak patut ini. Tapi aku mengelak. Maka kudengar jelas argumen cerdas Pak Balia, "0,25 itu berarti segala-galanya, Pak. Angka kecil seperempat itu adalah simbol yang menyatakan lembaga ini sama sekali tidak menoleransi persekongkolan!!" Tersinggung berat, Pak Mustar muntab dan sertamerta memprovokasi, "Bagaimana para orangtua?? Setuju dengan pendapat itu?!" la petantang-petenteng hilir mudik sambil bertelekan pinggang. "Tanpa saya SMA ini tak 'kan pernah berdiri!! Saya babat alas di sini!!" Pak Balia, memang masih belia, tapi ia pengibar panji ahlakul karimah. Integritasnya tak tercela. Ia seorang bumiputra, amtenar pintar lulusan IKIP Bandung. Baginya ini sudah keterlaluan, merongrong wibawa institusi pendidikan! Guru muda ganteng ini jadi emosi. "Tak ada pengecualian!! Tak ada kompromi, tak ada katebelece, dan tak ada akses istimewa untuk mengkhianati aturan. Inilah yang terjadi dengan bangsa ini, terlalu banyak kongkalikong!!" Dada Pak Mustar turun naik menahan marah tapi Pak Balia telanjur jengkel. "Seharusnya Bapak bisa melihat tidak diterimanya anak Bapak sebagai peluang untuk menunjukkan pada khalayak bahwa kita konsisten mengelola sekolah ini. NEM minimal 42, titik!! Tak bisa ditawar-tawar!!" Pidato itu disambut tepuk tangan para orangtua. Jika wakil rakyat berwatak seperti Pak Balia, maka republik ini tak 'kan pernah berkenalan dengan istilah studi banding. Namun, akibatnya fatal. Setelah kejadian itu, Pak Mustar berubah menjadi seorang guru bertangan besi. Beliau menumpahkan kekesalannya kepada para siswa yang diterima. "Disiplin yang keras!! Itulah yang diperlukan anakanak muda Melayu zaman sekarang." Demikian jargon pamungkas yang bertalu-talu digaungkannya. la juga selalu terinspirasi kata-kata mutiara Deng Xio Ping yang menjadi pedoman tindakan represif tentara pada mahasiswa di Lapangan Tiannanmen, "Masalah- masalah orang muda seperti akar rumput yang kusut. Jika dibiarkan, pasti berlarut-larut. Harus cepat diselesaikan dengan gunting yang tajam!!" Senin pagi ini kuanggap hari yang sial. Setengah jam sebelum jam masuk, Pak Mustar mengunci pagar sekolah. Beliau berdiri di podium menjadi inspektur apel rutin. Celakanya banyak siswa yang terlambat, termasuk aku, Jimbron, dan Arai. Lebih celaka lagi beberapa siswa yang terlambat justru mengejek Pak Mustar. Dengan sengaja, mereka meniru-nirukan pidatonya. Pemimpin para siswa yang berkelakuan seperti monyet sirkus itu tak lain Arai!! Pak Mustar ngamuk. la meloncat dari podium dan mengajak dua orang penjaga sekolah mengejar kami. Saat itu aku dan Jimbron sedang duduk penuh gaya di atas sepeda jengkinya yang butut. Sekelompok sis- wi kelas satu yang juga terlambat nongkrong berderetderet. Hanya aku dan Jimbron pejantan di sana. "Kesempatan baik, Bron!!" aku girang, celingukan kiri kanan. "Tak ada kompetisi!!" Wajah Jimbron yang bulat jenaka merona-rona seperti buah mentega. "Mmhhh ... mmhhaa ... mainkan, Kal!!" Tak membuang tempo, segera kami keluarkan segenap daya pesona yang kami miliki secara habis-habisan untuk menarik perhatian putri-putri kecil semenanjung itu. Jimbron membunyikan kliningan sepedanya dan menyiul-nyiulkan lagu sumbang yang tak jelas. Sedangkan aku, sebagai siswa SMA yang cukup kreatif, telah lama memiliki taktik khusus untuk situasi semacam ini, yaitu mengaduk kepalaku dengan minyak hijau ajaib Tancho yang selalu ada dalam tasku, menyisir seluruh rambutku ke belakang, lalu dengan tangan dan tenaga penuh menariknya kembali. Maka muncullah bongkahan jambul berbinar-binar. Dan inilah puncak muslihat anak Melayu kampung: di dekat para siswi tadi, aku berpura-pura menunduk untuk membetulkan tali sepatu, yang sebenarnya tidak apa-apa, sehingga ketika bangkit aku mendapat kesempatan menyibakkan jambulku seperti gaya pembantu membilas cucian. Ah, elegan, elegan sekali. Sangat Melayu! Sayangnya, gadis-gadis kecil itu rupanya telah dikaruniai Sang Maha Pencipta semacam penglihatan yang mampu menembus tulang-belulang, sehingga bagi mereka tubuhku transparan. Aku ada di sana, hilir mudik pasang aksi seperti bebek, tapi mereka tak melihatku, sebab tak seorang pun ingin memedulikan laki-laki yang berbau seperti ikan pari. Dan bukannya mendapat simpati, ketika melakukan gerakan mengayun jambul dengan sedikit putaran manis setengah lingkaran seperti aksi Jailhouse Rock Elvis Presley, aku malah terperanjat tak alang kepalang karena para siswi di depanku menjerit-jerit histeris. Mereka menatap sesuatu di belakangku seperti melihat kuntilanak. Tak sempat kusadari, secepat terkaman macan akar, secara amat mendadak, Pak Mustar telah berdiri di sampingku. Wajahnya yang dingin putih menyeringai kejam. Aku menjejalkan pijakan langkahku untuk melompat tapi terlambat. Pak Mustar merenggut kerah bajuku, menyentakku dengan keras hingga seluruh kancing bajuku putus. Kancing-kancing itu berhamburan ke udara, berjatuhan gemerincing. Aku meronta-ronta dalam genggamannya, menggelinjang, dan terlepas! Lalu wuttthhhh!!! Hanya seinci dari telingaku, Pak Mustar menampar angin sebab aku merunduk. Aku berbalik, mencuri momentum dengan menumpukan seluruh tena- ga pada tunjangan kaki kanan dan sedetik kemudian aku melesat kabur. "Berrrandallllll!!!" Suara Pak Mustar membahana. la serta-merta mengejarku dan berusaha menjambak rambutku dengan tangan cakar macannya. Kedua penjaga sekolah tergopoh- gopoh menyusulnya. Segerombolan siswa, termasuk Arai dan Jimbron, semburat berhamburan ke berbagai arah. Dan yang paling sial adalah aku, selalu aku! Pak Mustar jelas-jelas hanya menyasar aku. Suara peluit penjaga sekolah meraung-raung menerorku. Pritt!! Prriiiiiitttt... priiiiiiiiiittttt!! Aku berlari kencang menyusuri terali sekolah. Pengejarku juga sial karena aku adalah sprinter SMA Bukan Main. Seluruh siswa berhamburan menuju pagar, riuh menyemangatiku karena mereka membenci Pak Mustar. Seumur-umur aku tak pernah diperhatikan seorang pun putri semenanjung, namun kini gadis-gadis manis Melayu itu, yang tadi tak sedikit pun mengacuhkan aku, melolong- lolong mendukungku. "Ikal!! Ikal!! Ayo!! Ikal, lari!! Lariiiiiiii...!!" Tenagaku terbakar. Kulirik sejenak jejeran panjang tak putus-putus pagar nan ayu, ratusan jumlahnya, berteriak- teriak histeris membelaku, hanya membelaku sendiri, sebagian melonjak-lonjak, yang lainnya membekap dada, khawatir jagoannya ditangkap garong. "Lari!! Lari Kal!! Lari, Sayang ...." Oh, aku melambung tinggi, tinggi sekali. Setiap langkahku terasa ringan laksana loncatan-loncatan anggun antelop Tibet. Walau gemetar ketakutan tapi aku melesat sambil tersenyum penuh arti. Bajuku yang tak berkancing berkibar-kibar seperti jubah Zorro. Aku merasa tampan, merasa menjadi pahlawan. Dan yang terpenting, dalam kepanikan itu, sempat kutarik pelajaran moral nomor tujuh: Ternyata rahasia menarik perhatian seorang gadis adalah kita harus menjadi pelari yang gesit. Aku menyeberangi jalan dan berlari kencang ke utara, memasuki gerbang pasar pagi. Pak Mustar bernafsu menangkapku, jaraknya semakin dekat. Aku ketakutan dan tergesa-gesa meloncati palang besi parkir sepeda. Celaka! Salah satu sepeda tersenggol. Lalu tukang parkir terpana melihat ratusan sepeda yang telah dirapikannya susah payah, rebah satu per satu seperti permainan mendirikan kartu domino, menimbulkan kegaduhan yang luar biasa di pasar pagi. Aku terjerembap, bangkit, dan pontang-panting kabur. Kejar-kejaran semakin seru saat aku melintasi pelataran dengan pilar-pilar menjulang yang dipenuhi pedagang kaki lima. Aku melesat meliuk-liuk di antara gerobak sayur dan ratusan pembeli. Pak Mustar dan komplotannya lekat di belakangku. Suara peluit menjerit- jerit. Orang-orang berteriak gaduh. Aku berbelok tajam ke gang permukiman Kek yang panjang, berlari se- kencang-kencangnya hingga mencapai akselerasi sempurna. Pak Mustar ketinggalan di belakangku, semakin lama semakin jauh. Sebenarnya aku dapat lolos jika tak memedulikan panggilan sial ini, "Ikal!! ... Ikal!!" Aku berbalik dan tepat di sana, lima belas meter dariku, baru saja berbelok dari sebuah mulut gang, Jimbron dan Arai terengah-engah saling berpegangan. Jika berlari, Jimbron yang invalid harus dibopong. Mereka yang tadi semburat tak menyadari arah pelariannya melintasi jalur perburuan Pak Mustar. "Ikal... tolong, Kal.... Tolong ...." Aku terkesiap, kasihan, dan kesal. "Biang keladi! Cukup sudah aku dengan tabiatmu, Rai. Lihat! Macan itu akan menerkammu!!" Melihat sasaran nomplok tiba-tiba muncul di depannya, Pak Mustar sumringah dan kembali bernafsu memburu kami. Jimbron dan Arai terseok-seok tak berdaya. Aku ingin menyelamatkan Jimbron walaupun benci setengah mati pada Arai. Aku dan Arai menopang Jimbron dan beruntung kami berada dalam labirin gang yang membingungkan. Kami menyelinap, hingga akhirnya di gudang peti es inilah kami terperangkap. Pak Mustar dan kedua penjaga sekolah mondar-mandir di luar tanpa menyadari kami ada di dalam gudang peti es. Tatapanku lekat pada setiap gerakan kecil Pak Mustar. Seakan dapat kurasakan setiap tarikan napasnya. Aku memiliki gambaran jelas tentang karakter orang seperti Pak Mustar. Pria-pria berwajah manis dan kekejaman mereka yang tak terbayangkan. Aku pernah mengunjungi uwakku yang menjadi sipir di penjara Karimun. Di penjara itu kulihat pesakitan yang sangar, sok jago, dekil, omong besar, dan bertato di sana sini berada di blok A, dikurung beramai-ramai seperti ayam karena mereka tak lebih dari pencuri ayam atau tukang nyolong jemuran. Namun, mereka yang sampai hati merampok TKW atau membunuh tanpa melepaskan rokok di mulutnya, berada di blok B, sel isolasi. Penghuni blok B adalah pria-pria kecil yang rapi, pintar, bersih, santun lisannya, dan manis sekali senyumnya. Sejarah menunjukkan bahwa Alexander Agung yang membakar ribuan wanita dan anak-anak, Cortez yang membantai orang Indian sampai menggenangkan darah setinggi lutut, semua penjagal yang disebut legenda itu tak lain adalah pria-pria tampan berwajah manis. Maka berurusan dengan Pak Mustar aku menyadari bahwa kami sedang berada dalam situasi yang tak dapat diduga. Tapi aku tak tahan di kandang mendidih berbau amis ini. Pun aku tak melihat celah untuk lolos. Aku menunggu keajaiban sebelum menyerahkan diri. Dan ia tak datang, harapanku habis. Aku berjalan menuju pintu gudang diikuti Jimbron yang terpincang-pincang. Tapi tiba-tiba kami terperanjat karena dentuman knalpot vespa Lambretta. Dan kami panik tak dapat menguasai diri. Benar-benar sial berlipat-lipat sebab penunggang vespa itu adalah Nyonya Lam Nyet Pho, turunan prajurit Hupo, semacam capo, ketua preman pasar ikan. Ia pemilik gudang ini dan penguasa 16 perahu motor. Anak buahnya ratusan pria bersarung yang hidup di perahu dan tak pernah melepaskan badik dari pinggangnya. Beperkara dengan nyonya ini urusan bisa runyam. Karena kami telah menyelinap dalam gudangnya, pasti ia akan menuduh kami mencuri. Nyonya Pho bertubuh tinggi besar. Rambutnya tebal, disemir hitam pekat dan kaku seperti sikat. Alisnya seperti kucing tandang. Bahunya tegap, dadanya tinggi, dan raut mukanya seperti orang terkejut. Sesuai tradisi Hupo, ia bertato, lukisan naga menjalar dari punggung sampai ke bawah telinga, bersurai-surai dengan tinta Cina. Bengis, tega, sok kuasa, dan tak mau kalah tersirat jelas dari matanya. Lima orang pembantu setia Nyonya Pho—Parmin, Marmo, Paijo, Tarji, dan Nasio—membuka pintu gudang. Gagal menjadi petani jagung, para transmigran ini bermetamorfosis jadi kuli serabutan. Mesin Lambretta dimatikan dan aku diserang kesenyapan yang meng- giriskan. Jimbron memeluk kedua kakinya dan mulai terisak-isak. Tubuhku merosot lemas. Nasib kami di ujung tanduk. Namun dalam detik yang paling genting, aku terkejut sebab ada tangan mengguncang pundakku, tangan Arai. "Ikal!" bisiknya sambil melirik peti es. Aku paham maksudnya! Luar biasa dan sinting!! Itulah Arai dengan otaknya yang ganjil. Aku suspense. Otakku berputar cepat mengurai satu per satu perasaan cemas, ide yang memacu adrenalin, dan waktu yang sempit. Arai mencongkel gembok dan menyingkap tutup peti. Wajah kami seketika memerah saat bau amis yang mengendap lama menyeruak. Isi peti mirip remahremah pembantaian makhluk bawah laui. Sempat terpikir olehku untuk mengurungkan rencana gila itu, tapi kami tak punya pilihan lain. "Ikal! Masuk duluan!" perintah Arai sok kuasa. Tatapanku berkilat mengancam Arai. Ingin sekali aku membenamkan kepalanya ke mulut ikan hiu gergaji raksasa yang menganga di depanku. Itu penyiksaan karena berarti aku harus bersentuhan langsung dengan balok es di dasar peti dan menanggung beban tubuh Jimbron dan Arai. Berat Jimbron sendiri tak kurang dari 75 kilo. "Tak adil! Ini idemu Rai, kau masuk duluan!!" "Jangan banyak protes! Badanmu paling kecil. Kalau tak masuk duluan, Jimbron tak bisa masuk!!" Aku merasa in charge. Aku pemimpin pelarian ini, maka hanya aku yang berhak membuat perintah. "Tak sudi! Bagaimana pendapatmu, Bron?" Arai jengkel. "Ini bukan demokrasi! Atau kau mau berurusan dengan Capo?!" Aku melongok ke dasar peti. Aku tak sanggup. "Tak bisa, Rai! Bisa kudisan aku kena umpan busuk itu...." Arai menyeringai seperti jin kurang sajen. Habis sudah kesabarannya dan meledaklah serapah khasnya yang legendaris. "Kudisan?!! Kudisan katamu? Kau tak punya wewenang ilmiah untuk menentukan penyakit!!" "Masuk!!" Aku merasakan siksaan yang mengerikan ketika dua tubuh kuli ngambat dengan berat tak kurang dari 130 kilo menindihku. Tulang-tulangku melengkung. Jika bergeser, rasanya akan patah. Setiap tarikan napas perih menyayat-nyayat rusukku. Perutku ngilu seperti teriris karena diikat dinginnya sebatang balok es. Aku menggigit lenganku kuat-kuat menahan penderitaan. Bau anyir ikan busuk menusuk hidungku sampai ke ulu hati. Tatapan nanar bola mata mayat-mayat ikan kenangka yang terbelalak dan kelabu membuatku gugup. Nyonya Pho dan pembantunya memasuki gudang. "Min, Mo, angkut yang ini!" Peti itu miring—kami tercekat—tapi sama sekali tak terangkat. Pembantu Nyonya Pho mencoba berkalikali, masih tak terangkat. Peti itu membatu seperti menhir keramat. Nyonya Pho kecewa berat. Di luar gudang Pak Mustar dan dua orang penjaga sekolah tadi tengah duduk merokok. Aku membayangkan sebuah kejadian janggal dan belum sempat kucerna firasatku, kejanggalan itu benar terjadi. Suara Nyonya Pho kembali menggelegar seperti pengkhotbah di puncak Bukit Golgota. "Bujang! Tolong sini! Angkat peti ini ke stanplat. Daripada kalian merokok saja di situ, aya ya ... tak berguna!" Sekarang delapan orang memikul peti dan peti meluncur menuju pasar pagi yang ramai. Di sekitar peti tukang parkir berteriak-teriak menimpali obralan pedagang Minang yang menjual baju di kaki lima. Klakson sepeda motor dan kliningan sepeda sahut-menyahut dengan jeritan mesin-mesin parut dan ketukan palu para tukang sol. Lenguh sapi yang digelandang ke pejagalan beradu nyaring dengan suara bising dari balon kecil yang dipencet penjual mainan anak-anak. Di punggungku kurasakan satu per satu detakan jantung Jimbron, lambat namun keras, gelisah dan mencekam. Berbeda dengan Arai. Waktu peti melewati para pengamen ia menjentikkan jemarinya mengikuti kerincing tamborin. Dan ia tersenyum. Aku mengerti bahwa baginya apa yang kami alami adalah sebuah petualangan yang asyik. la melirikku yang terjepit tak berdaya, senyumnya semakin girang. "Fantastik bukan?" pasti itu maksudnya. Aku merasa takjub dengan kepribadian Arai. Tatapanku menghujam bola matanya, menyusupi lensa, selaput jala, dan iris pupilnya, lalu tembus ke dalam lubuk hatinya, ingin kulihat dunia dari dalam jiwanya. Tiba-tiba aku merasa seakan berdiri di balik pintu, pada sebuah temaram dini hari, mengamati ayahku yang sedang duduk mendengarkan siaran radio BBC. Lalu lagu syahdu "What a Wonderful World" mengalir pelan. Seiring alunan lagu itu dari celah-celah peti kusaksikan pasar yang kumuh menjadi memesona. Anak-anak kecil Tionghoa yang membawa kado melompat-lompat harmonis bermain tali dikelilingi gelembung-gelembung busa. Lalu-lalang kendaraan adalah serpihan-serpihan cahaya yang melesat-lesat menembus fatamorgana aurora. Burung-burung camar mematuki cumi yang berjuntai di lubang-lubang peti, terbang labuh. Sayap-sayap kumbang berkilauan terbias warna-warni dedaunan maranta. Demikian indahkah hidup dilihat dari mata Arai? Beginikah seorang pemimpi melihat dunia? "Brragghh!!!" Lamunanku terhempas di atas meja baru pualam putih yang panjang. Kudengar langkah para pengangkat peti bergegas pergi. Kami menunggu dengan tegang detik demi detik berikutnya. Jantungku berdetak satu per satu mengikuti derap langkah Nyonya Pho mendekati peti. Dan tibalah momen yang dramatis itu ketika Capo mengangkat tutup peti dan langsung, saat itu juga, ia menjerit sejadi-jadinya. Wajahnya yang memang sudah seperti orang terkejut membiru seperti anak kecil melihat hantu. Kami bertiga bangkit serentak tanpa ekspresi. Nyonya Pho ternganga dan bibirnya bergetar-getar. Cerutunya merosot dan jatuh tanpa daya di atas lantai stanplat yang becek. Kami tak sedikit pun memedulikannya. Ratusan pembeli ikan terperangah menyaksikan kami berbaris dengan tenang di atas meja pualam yang panjang: tak berbaju, berminyak-minyak, dan busuk belepotan udang rebon basi. Kami melenggang tenang dipimpin seorang laki-laki pemimpi yang hebat bukan main. Ketika kami melewati Nyonya Pho, ia terjajar hampir jatuh. Mukanya pias seakan ingin mati berdiri. Tangannya menunjuk-nunjuk kami. Mulutnya komat-kamit mengucapkan kata-kata seperti orang tercekik. "Ikkhhhh ... ikkhhh ... ikkha ... ikan duyung!!!" Arai adalah orang kebanyakan. Laki-laki seperti ini selalu bertengkar dengan tukang parkir sepeda, meributkan uang dua ratus perak. Orang seperti ini sering duduk di bangku panjang kantor pegadaian menunggu barangnya ditaksir. Barangnya itu dulang tembaga busuk kehijau-hijauan peninggalan neneknya. Kalau polisi menciduk gerombolan bromocorah pencuri kabel telepon, maka orang berwajah serupa Arai dinaikkan ke bak pick up, dibopong karena tulang keringnya dicuncung sepatu jatah kopral. Dan jika menonton TVRI, kita biasa melihat orang seperti Arai meloncat-loncat di belakang presiden agar tampak oleh kamera. Wajah Arai laksana patung muka yang dibuat mahasiswa- baru seni kriya yang baru pertama kali menjamah tanah liat, pencet sana, melendung sini. Lebih tepatnya, perabotan di wajahnya seperti hasil suntikan silikon dan mulai meleleh. Suaranya kering, serak, dan nyaring, persis vokalis mengambil nada falseto—mungkin karena kebanyakan menangis waktu kecil. Gerak-geriknya canggung serupa belalang sembah. Tapi matanya istimewa. Di situlah pusat gravitasi pesona Arai. Kedua bola matanya itu, sang jendela hati, adalah layar yang mempertontonkan jiwanya yang tak pernah kosong. Sesungguhnya, aku dan Arai masih bertalian darah. Neneknya adalah adik kandung kakekku dari pihak ibu. Namun sungguh malang nasibnya, waktu ia kelas satu SD, ibunya wafat saat melahirkan adiknya. Arai, baru enam tahun ketika itu, dan ayahnya, gemetar di samping jasad beku sang ibu yang memeluk erat bayi merah bersimbah darah. Anak-beranak itu meninggal bersamaan. Lalu Arai tinggal berdua dengan ayahnya. Kepedihan belum mau menjauhi Arai. Menginjak kelas tiga SD, ayahnya juga wafat. Arai menjadi yatim piatu, sebatang kara. Ia kemudian dipungut keluarga kami. Aku teringat, beberapa hari setelah ayahnya meninggal, dengan menumpang truk kopra, aku dan ayahku menjemput Arai. Sore itu ia sudah menunggu kami di depan tangga gubuknya, berdiri sendirian di tengah belantara ladang tebu yang tak terurus. Anak kecil itu mengapit di ketiaknya karung kecampang berisi beberapa potong pakaian, sajadah, gayung tempurung kelapa, mainan buatannya sendiri, dan bingkai plastik murahan berisi foto hitam putih ayah dan ibunya ketika pengantin baru. Sebatang potlot yang kumal ia selipkan di daun telinganya, penggaris kayu yang sudah patah disisipkan di pinggangnya. Tangan kirinya menggenggam beberapa lembar buku tak bersampul. Celana dan bajunya dari kain belacu lusuh dengan kancing tak lengkap. Itulah seluruh harta bendanya. Sudah berjam-jam ia menunggu kami. Tampak jelas wajah cemasnya menjadi lega ketika melihat kami. Aku membantu membawa buku-bukunya dan kami meninggalkan gubuk berdinding lelak beratap daun itu dengan membiarkan pintu dan jendela-jendelanya terbuka karena dipastikan tak 'kan ada siapa-siapa untuk mengambil apa pun. Laksana terumbu karang yang menjadi rumah ikan di dasar laut, gubuk itu akan segera menjadi sarang luak, atapnya akan menjadi lumbung telur burung kinantan, dan tiang-tiangnya akan menjadi istana liang kumbang. Kami menelusuri jalan setapak menerobos gulma yang lebih tinggi dari kami. Kerasak tumpah ruah merubung jalan itu. Arai menengok ke belakang untuk melihat gubuknya terakhir kali. Ekspresinya datar. Lalu ia berbalik cepat dan melangkah dengan tegap. Anak seke- 25 cil itu telah belajar menguatkan dirinya. Ayahku berlinangan air mata. Dipeluknya pundak Arai erat-erat. Di perjalanan aku tak banyak bicara karena hatiku ngilu mengenangkan nasib malang yang menimpa sepupu jauhku ini. Ayahku duduk di atas tumpukan kopra, memalingkan wajahnya, tak sampai hati memandang Arai. Aku dan Arai duduk berdampingan di pojok bak truk yang terbanting-banting di atas jalan sepi berbatubatu. Kami hanya diam. Arai adalah sebatang pohon kara di tengah padang karena hanya tinggal ia sendiri dari satu garis keturunan keluarganya. Ayah ibunya merupakan anak-anak tunggal dan kakek neneknya dari kedua pihak orangtuanya juga telah tiada. Orang Melayu memberi julukan Simpai Keramat untuk orang terakhir yang tersisa dari suatu klan. Aku mengamati Arai. Kelihatan jelas kesusahan telah menderanya sepanjang hidup. Ia seusia denganku tapi tampak lebih dewasa. Sinar matanya jernih, polos sekali. Lalu tak dapat kutahankan air mataku mengalir. Aku tak dapat mengerti bagaimana anak semuda itu menanggungkan cobaan demikian berat sebagai Simpai Keramat. Arai mendekatiku lalu menghapus air mataku dengan lengan bajunya yang kumal. Tindakan itu membuat air mataku mengalir semakin deras. Sempat kulirik ayahku yang mencuri-curi pandang kepada kami, wajah beliau sembap dan matanya semerah buah saga. Meli- 26 Simpai Keramat hatku pilu, kupikir Arai akan terharu tapi ia malah tersenyum dan pelan-pelan ia merogohkan tangannya ke dalam kacung kecampangnya. Air mukanya memberi kesan ia memiliki sebuah benda ajaib nan rahasia. "Ikal, lihatlah ini!!" bujuknya. Dari dalam karung, ia mengeluarkan sebuah benda mainan yang aneh. Aku melirik benda itu dan aku semakin pedih membayangkan ia membuat mainan itu sendirian, memainkannya juga sendirian di tengah-tengah ladang tebu. Aku tersedu sedan. Tapi bagaimanapun perih aku tertarik. Mainan itu semacam gasing yang dibuat dari potongan-potongan lidi aren dan di ujung lidi-lidi itu ditancapkan beberapa butir buah kenari tua yang telah dilubangi. Sepintas bentuknya sepertii helikopter. Jalinan lidi pada mainan itu agaknya mengandung konstruksi mekanis. Aku tergoda melihat Arai memutar-mutar benda itu setengah lingkaran untuk mengambil ancang-ancang. Setelah beberapa kali putaran, sebatang lidi besar yang menjadi tuas konstruksi itu melengkung lalu saat putaran terakhir dilepaskan, ajaib! Lengkungan tadi melawan arah menimbulkan tendangan tenaga balik yang memelintir gasing aneh ini dengan sempurna 360 derajat, berulang-ulang. Lebih seru lagi putaran balik ini menyebabkan butir-butir kenari tadi saling beradu menimbulkan harmoni suara gemeretak yang menakjubkan. Aku tergelak. Mata Arai bersinar-sinar. Aku tersenyum tapi tangisku tak reda karena seperti mekanika gerak balik helikopter purba ini, Arai telah memutarbalikkan logika sentimental ini. la justru berusaha menghiburku pada saat aku seharusnya menghiburnya. Dadaku sesak. "Cobalah, Ikal...." Aku merebut gasing aneh itu, mengamatinya dengan teliti bukan hanya sebagai mainan yang menarik hati tapi sebagai sebuah kisah tentang anak kecil yang menciptakan mainan untuk melupakan kepedihan hidupnya. Aku memutar gasing itu sekali, namun aku terperanjat sebab tiba-tiba ia berputar sendiri dengan keras sehingga konstruksinya bingkas, lidi-lidinya patah, dan buah-buah kenari itu berhamburan ke mukaku. Aku telah memutarnya terlalu kencang. Arai terkekeh melihatku. Ia memegangi perutnya menahan tawa. Belum hilang rasa terkejutku, Arai kembali merogohkan tangannya ke dalam karung kecampang. "Masih ada lagi!!" Ia tersenyum penuh arti karena tahu telah berhasil menghiburku. Kali ini ia mengeluarkan sebuah cupu dari kayu medang yang berlubang-lubang. Biasa dipakai orang Melayu untuk menyimpan tembakau. Tak kusangka cupu itu telah dibelah dan sambungannya tak kasat. Arai membukanya pelan-pelan. "Aiih ... kumbang sagu!!" Aku memekik tak terkendali. Kumbang sagu, serangga mainan langka yang susah ditangkap. Jika dipelihara dan diberi makan remah kelapa, kumbang bersayap mengilat seperti tameng patriot Spartan itu dapat menjadi jinak. Tak berkedip aku melihat Arai membiarkan kumbang itu merayapi lengannya. Makhluk kecil yang memesona itu meloncat-loncat kecil ingin terbang. Arai membelai serangga kecil itu, menggenggamnya dengan lembut lalu melemparkannya ke udara. Ditiup angin kencang di atas truk kumbang itu meregangkan sayap-sayapnya, mengapung sebentar, berputar- putar seolah merayakan kemerdekaannya lalu melesat menembus rimbun dedaunan kemang di tepi jalan. Lalu Arai melangkah menuju depan bak truk. la berdiri tegak di sana serupa orang berdiri di hidung haluan kapal. Pelan- pelan ia melapangkan kedua lengannya dan membiarkan angin menerpa wajahnya. Ia tersenyum penuh semangat. Agaknya ia juga bertekad memerdekakan dirinya dari duka mengharu biru yang membelenggunya seumur hidup. Ia telah berdamai dengan kepedihan dan siap menantang nasibnya. Jahitan kancing bajunya yang rapuh satu per satu terlepas hingga bajunya melambailambai seperti sayap kumbang sagu tadi. Ia menggoyanggoyang tubuhnya bak rajawali di angkasa luas. "Dunia...!! Sambutlah aku...!! Ini aku, Arai, datang untukmu ...!!" Pasti itu maksudnya. Ayahku tersenyum mengepalkan tinjunya kuatkuat dan aku ingin tertawa sekeras-kerasnya, tapi aku juga ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku dan Arai ditakdirkan seperti sebatang jarum di atas meja dan magnet di bawahnya. Sejak kecil kami melekat ke sana kemari. Aku semakin dekat dengannya karena jarak antara aku dan abang pangkuanku, abangku langsung, sangat jauh. Arai adalah saudara sekaligus sahabat terbaik buatku. Dan meskipun kami seusia, ia lebih abang dari abang mana pun. Ia selalu melindungiku. Sikap itu tecermin dari hal-hal paling kecil. Jika kami bermain melawan bajak laut di Selat Malaka dan aku sebagai Hang Tuah, maka ia adalah Hang Lekir. Dalam sandiwara memerangi kaum Quraishi pada acara di balai desa, aku berperan selaku Khalifah Abu Bakar, Arai berkeras ingin menjadi panglima besar Hamzah. Jika aku Batman, ia ingin menjadi Robin atau paling tidak menjadi kelelawar. Jika di kampung anak-anak bermain memperebutkan kapuk yang beterbangan dari pohonnya seperti hujan salju, Arai akan menjulangku di pundaknya, sepanjang sore berputar-putar di lapangan tak kenal lelah, tak pernah mau kugantikan. la mengejar layangan untukku, memetik buah delima di puncak pohonnya hanya untukku, mengajariku berenang, menyelam, dan menjalin pukat. Sering bangun tidur aku menemukan kuaci, permen gula merah, bahkan mainan kecil dari tanah liat sudah ada di saku bajuku. Arai diam-diam membuatnya untukku. Dan seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin di kampung kami yang rata-rata beranjak remaja mulai bekerja mencari uang, Arai-lah yang mengajariku mencari akar banar untuk dijual kepada penjual ikan. Akar ini digunakan penjual ikan untuk menusuk insang ikan agar mudah ditenteng pembeli. Dia juga yang mengajakku mengambil akar purun (perdu yang tumbuh di rawa-rawa) yang kami jual pada pedagang kelontong untuk mengikat bungkus terasi. Waktu itu kami ingin sekali menjadi caddy di padang golf PN Timah tapi belum cukup umur. Kami masih SMP. Untuk jadi caddy, paling tidak harus SMA. Sejak melihat aksi Arai di bak truk kopra tempo hari, aku mengerti bahwa ia adalah pribadi yang istime- wa. Meskipun perasaannya telah luluh lantak pada usia sangat muda tapi ia selalu positif dan berjiwa seluas langit. Mengingat masa lalunya yang pilu, aku kagum pada kepribadian dan daya hidupnya. Kesedihan hanya tampak padanya ketika ia mengaji Al-Qur'an. Di hadapan kitab suci itu ia seperti orang mengadu, seperti orang yang takluk, seperti orang yang kelelahan berjuang melawan rasa kehilangan seluruh orang yang dicintainya. Setiap habis magrib Arai melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an di bawah temaram lampu minyak dan saat itu seisi rumah kami terdiam. Suaranya sekering ranggas yang menusuk-nusuk malam. Ratap lirihnya mengirisku, menyeretku ke sebuah gubuk di tengah ladang tebu. Setiap lekukan tajwid yang dilantunkan hati muda itu adalah sayat kerinduan yang tak tertanggungkan pada ayah-ibunya. Jika Arai mengaji, pikiranku lekat pada anak kecil yang mengapit karung kecampang, berbaju seperti perca dengan kancing tak lengkap, berdiri sendirian di muka tangga gubuknya, cemas menunggu harapan menjemputnya. Jika Arai mengaji, aku bergegas menuruni tangga rumah panggung kami, kemudian berlari sekuat tenaga menerabas ilalang menuju lapangan di tepi kampung. Di tengah lapangan itu aku berteriak sejadi-jadinya. Karena berkepribadian terbuka, memiliki mentalitas selalu ingin tahu dan terus bertanya, Arai berkembang menjadi anak yang pintar. la selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. "Oh, amboi, Ikal... tengoklah ini! Model rambut paling mutakhir! Aiiihhh.... Toni Koeswoyo, rambut belah tengahnya itu! Elok bukan buatan! Lihatlah, Kal, semua pemain Koes Plus rambutnya belah tengah!" Demikian hasutan Arai sambil mengagumi foto Koes Plus di sampul buku PKK-nya. la telah menerapkan belah tengah seminggu sebelumnya dan tak sedikit pun kulihat nilai tambah pada wajahnya. Tapi karena Arai memang diberkahi dengan bakat menghasut, maka aku termakan juga. Ketika becermin, aku sempat tak kenal pada diriku sendiri. Aku gugup bukan main saat pertama kali keluar kamar dengan gaya rambut Toni Koeswoyo itu. Aku berdiri mematung di ambang pintu karena abang-abangku menertawakan aku sampai berguling- guling. "Ha ha ha! Lihatlah orang-orangan ladang!!" ejek mereka bersahut-sahutan seperti segerombolan lutung berebut ketela rambat. Rasanya aku ingin kabur masuk kembali ke kamar. Aku tak menyalahkan mereka karena aku memang mirip orang-orangan ladang. Rambutku yang ikal, panjang, dan tipis ketika dibelah tengah lepek di atasnya namun ujung-ujungnya jatuh melengkung lentik di atas pundakku. Persis ekor angsa. Aku menyesal telah mengubah sisiranku dan di ambang pintu kamar itu aku demam panggung sebelum memperlihatkan penampilan baruku pada dunia. Tapi pada saat aku akan melangkah mundur, Arai serta-merta menghampiriku. "Jangan takut, Tonto ...," ia menguatkan aku dengan gaya Lone Ranger. Arai menggenggam tanganku erat-erat dan menuntunku dengan gagah berani melewati ruang tengah rumah. Dalam dukungan Arai, aku tak sedikit pun gentar menghadapi badai cemoohan. Papan-papan panjang lantai rumah berderak-derak ketika kami berdua melangkah penuh gaya. Demikianlah, arti Arai bagiku. Maka sejak Arai tinggal di rumah kami, tak kepalang senang hatiku. Aku semakin gembira karena kami diperbolehkan menempati kamar hanya untuk kami berdua. Walaupun kamar kami hanyalah gudang peregasan, jauh lebih baik daripada tidur di tengah rumah, bertumpuk-tumpuk seperti pindang bersama abang-abangku yang kuli, bau keringat, dan mendengkur. Peregasan adalah peti papan besar tempat menyimpan padi. Orangtuaku dan sebagian besar orang Melayu seangkatan mereka demikian trauma pada pendudukan Jepang maka di setiap rumah pasti ada peregasan. Padi di dalam peregasan sebenarnya sudah tak bisa lagi dimakan karena sudah disimpan puluhan tahun. Saat ini peregasan tak lebih dari surga dunia bagi bermacam- macam kutu dan keluarga tikus berbulu kelabu yang turun-temurun beranak pinak di situ. Namun, jangan sekali-sekali membicarakan soal peregasan. Ini perkara sensitif. Jika sedikit saja kami menyinggung soal peregasan, misalnya kenapa padi lapuk itu tak dibakar saja, maka ibuku, sambil bersungut-sungut, akan melantunkan sabda rutinnya yang membuat kami bungkam. Preambul: "Kalian tak tahu apa-apa soal kesulitan hidup kecuali kalian hidup di zaman Jepang." Latar belakang masalah: "Pernahkah kalian melihat kaum pria bercelana karung goni sehingga kulitnya keras seperti kulit beduk? Aiii...." Kesimpulan: "Padi itu akan tetap di situ. Melihat keadaan negara sekarang, bisa-bisa Jepang datang lagi!!" Rekomendasi: "Maka Bujang-bujangku, daripada kaupusingkan soal padi itu, lebih berguna hidupmu jika kaupetikkan aku daun sirih!!" Para orangtua Melayu tahu persis bahwa padi di dalam peregasan sudah tak bisa dimakan. Namun, bagi mereka peregasan adalah metafora, budaya, dan perlambang yang mewakili periode gelap selama tiga setengah tahun Jepang menindas mereka. Ajaibnya sang waktu, masa lalu yang menyakitkan lambat laun bisa menjelma menjadi nostalgia romantik yang tak ingin dilupakan. Sore yang indah. Perkebunan kepala sawit di kaki gunung sebelah timur kampung kami seperti garis panjang yang membelah matahari. Bagian bawahnya menyingsingkan fajar di negeri-negeri orang berkulit pucat dan sisa setengah di atasnya menyemburkan lazuardi merah menyalanyala. Dan pada momen yang spektakuler itu aku tengah membicarakan persoalan yang sangat serius dengan Arai melalui telepon. Kami membahas kerusakan lingkungan karena ulah PN Timah dan jumlah ganti rugi yang akan kami tuntut karena tanah ulayat kami rusak berantakan. "Tiga miliar untuk air minum yang tercemar phyrite, empat miliar untuk risiko kontaminasi radio aktif, tujuh miliar kompensasi beban psikologis karena kesen jangan sosial, dan dua miliar untuk hancurnya habitat pelanduk," usul Arai berapi-api. Aku duduk santai di atas talang mendengarkan usulannya melalui pesawat telepon kaleng susu Bendera yang dihubungkan dengan kawat nyamuk. Arai meneleponku melalui kaleng Botan, posisinya di kandang ayam. Saat itulah seorang wanita gemuk berjilbab yang matanya bengkak memasuki pekarangan. Wanita malang setengah baya itu Mak Cik Maryamah, datang bersama putrinya dan seperti ibunya, mata mereka bengkak, semuanya habis menangis. Aku dan Arai berlari menuju Mak Cik tapi ibuku lebih dulu menghampiri mereka. "Kakak ...," Mak Cik memelas. "Kalau masih ada beras, tolonglah pinjami kami ...." Air mata Mak Cik meleleh. Kesusahan seakan tercetak di keningnya. Lahir untuk susah, demikian stempelnya. Putrinya yang terkecil tertidur pulas dalam dekapannya. Yang tertua, Nurmi yang kurus tinggi kurang gizi itu, baru kelas dua SMP, sama denganku dan Arai, tampak tertekan batinnya. la memeluk erat sebuah koper hitam lusuh berisi biola. Dia seorang pemain biola berbakat. Ingin menjadi musisi, itulah impian terbesarnya. Bakat dan biola itu diwarisinya dari kakeknya, ketua gambus kampung kami. Biola Nurmi Sudah tiga kali Minggu ini Mak Cik datang meminjam beras. Keluarga kami memang miskin tapi Mak Cik lebih tak beruntung. la tak berdaya karena tak lagi dipedulikan suaminya, antara lain karena ia hanya bisa melahirkan anak-anak perempuan itu. Ibuku memberi isyarat dan Arai melesat ke gudang peregasan. Ia memasukkan beberapa takar beras ke dalam karung, kembali ke pekarangan, memberikan karung beras itu kepada ibuku yang kemudian melungsurkannya kepada Mak Cik. "Ambillah...." Mak Cik menerimanya dengan canggung dan berat hati. Aku tak sampai hati melihatnya. Ia berkata terbata- bata, "Tak 'kan mampu kami menggantinya, Kak...." Lalu Mak Cik menatap Nurmi. Wajahnya menanggungkan perasaan tak sampai hati namun beliau benarbenar tak punya pilihan lain. "Hanya biola ini milik kami yang masih berharga," ucapnya pedih. Nurmi memeluk biolanya kuat-kuat. Air matanya mengalir. Ia tak rela melepaskan biola itu. "Nurmi...," panggil ibunya. Nurmi berupaya keras menguat-nguatkan dirinya. Ia mendekati ibuku. Langkahnya terseret-seret untuk menyerahkan koper biolanya. Air matanya berurai-urai. Ibuku tersenyum memandangi Nurmi. "Jangan sekali-kali kaupisahkan Nurmi dari biola ini, Maryamah. Kalau berasmu habis, datang lagi ke sini." Nurmi cepat-cepat menarik tangannya dan kembali memeluk biolanya kuat-kuat. la tersedu sedan. Kami mengiringi Mak Cik keluar pekarangan dan memandangi anak-beranak itu berjalan menjauh. Nurmi melangkah paling cepat mendahului ibu dan adik-adiknya seakan ia ingin segera pulang menyelamatkan biolanya. Mata Arai berkaca-kaca melihat Mak Cik bergandengan tangan dengan anak-anaknya sambil menenteng setengah karung beras. Lalu aku heran melihat ekspresi Arai. Sulit kuartikan makna air mukanya: dingin, datar, dan gundah. Kulihat ketidakpuasan, ada juga kilatan kemarahan. Lebih dari itu, kulihat sebuah rencana yang aneh. Instingku mengabari bahwa sesuatu yang dramatis pasti sedang berkecamuk dalam kepala manusia nyentrik ini. Benar saja, tiba-tiba Arai membanting telepon kaleng botan dan menyeretku ke gudang peregasan. Aku terbengong-bengong melihat tingkah Arai. Ibuku sibuk menggulung kabel telepon yang kami campakkan. Aku semakin tak mengerti waktu Arai bergegas membuka tutup peregasan, mengambil celengan ayam jagonya, dan tanpa ragu menghempaskannya. Uang lo- gam berserakan di lantai. Napasnya memburu dan matanya nanar menatapku saat ia mengumpulkan uang koin. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun dan pada detik itu aku langsung terperangkap dalam undangan ganjil dari sorot matanya. Seperti tersihir aku tergoda pada berbagai kemungkinan yang ditawarkan kelakuan sintingnya. Tanpa berpikir panjang aku menjangkau celenganku di dasar peregasan dan melemparkannya ke dinding. Aku terpana melihat koin-koin tabunganku berhamburan, baru kali ini aku memecahkan ayam jago dari tanah Hat itu. Arai terkekeh. Aku tak tahu apa yang telah merasukiku. Aku juga tak secuil pun tahu apa rencana Arai. Yang kutahu adalah Allah telah menghadiahkan karisma yang begitu kuat pada sang Simpai Keramat ini—mungkin sebagai kompensasi kepedihan masa kecilnya. Hanya dengan menatap, ia mampu menguasaiku. Atau mungkin juga aku bertindak tolol karena persekongkolan kami sudah mendarah daging. "Kumpulkan semua, Ikal!!" perintahnya bersemangat. "Masukkan ke dalam karung gandum." Koin-koin itu hampir seperempat karung gandum. 'Ayo ikut aku, cepat!! Pakai dua sepeda!!" Kami berlari menuju sepeda sambil menenteng karung gandum yang berat gemerincing. Kelakuan kami persis perampok telepon koin. Arai mengayuh sepeda seperti orang menyelamatkan diri dari letusan gunung berapi. Di luar pekarangan ia menikurtg tajam dalam kecepatan tinggi. Aku pontang-panting mengikutinya dengan hati penasaran. Yang terpikir olehku kami akan menghibahkan tabungan kami untuk Mak Cik. Mengingat kesulitan Mak Cik, aku tak keberatan. Tapi ketika sepeda melewati perempatan, Arai berbelok ke kiri. Aku tersengal-sengal memanggilnya. "Rai!! Mau ke mana??!!" Jika ingin ke rumah Mak Cik, seharusnya ia belok kanan. "Aku tahu, Kal. Ikut saja!!" Maka layar pun digulung dan drama dimulai. Arai ngebut, sepedanya terpantul-pantul di atas jalan pasir meluapkan debu berwarna kuning. Aku zigzag di belakangnya untuk menghindari debu. Aku terheran- heran pada kelakuan Arai tapi menikmati ketegangan pengalaman hebat ini. Dua orang bersepeda beriringan kejar-mengejar dengan kecepatan tinggi sambil membawa karung uang. Bukankah kami seperti buronan di film-film? Arai jelas sedang menuju ke pasar. Tak dapat kuduga apa maksudnya. Begitulah Arai, isi kepalanya tak 'kan pernah dapat ditebak. Di depan toko A Siong ia berhenti. Dia turun dari sepeda dan menghampiriku yang kehabisan napas. la mengambil karung uang yang sedang kusandang. Sambil mengumbar senyum tengiknya dia mengedipkan sebelah mata sembari mengeluarkan suara "khekkh!!" persis tekukur dilindas truk. Langkahnya pasti memasuki toko A Siong. Aku was was mengantisipasi tindakannya. Aku tak rela uang jerih payah berjualan tali purun itu dihamburkannya untuk hal yang konyol. Perlu diketahui, untuk menebas purun harus berendam dalam rawa setinggi dada dengan risiko ditelan buaya mentah-mentah. Tapi seperti biasanya Arai selalu meyakinkan. Lihatlah ekspresi dan gayanya berjalan. Aku terhipnotis oleh kekuatan kepercayaan dirinya. Aku seperti kerbau dicucuk hidung, digiring ke pejagalan pun manut saja. Bahkan hanya untuk bertanya mulutku telanjur kelu. Kami memasuki toko yang sesak. Barang-barang kelontong berjejal-jejal di rak-rak yang tinggi. Arai berhenti sebentar di tengah toko persis di bawah sebuah fan besar berdiameter hampir dua meter dan berputar sangat kencang: wuttth ... wuttth ... wutttthh. Istri A Siong besar di Hongkong. Hanya fan untuk pabrik itu yang membuatnya betah tinggal di Belitong yang panas. Arai membuka kancing atas bajunya, menengadahkan wajahnya, dan ketika angin fan membasuh wajahnya yang bersimbah peluh ia terpejam syahdu, sebuah gaya yang sangat mengesankan. Lalu ia menghampiri istri A Siong. Nyonya ini sedang mengepang rambut putrinya, Mei Mei. Siapa pun yang melihat gadis kecil ini akan segera teringat pada tofu. Mereka berdua gendut-gendut tapi cantik. "Prranggggg!!!" Arai menumpahkan isi karung gandum tadi di atas meja kaca. Nyonya Tionghoa yang punya nama sangat bagus itu: Deborah Wong melompat terkejut melihat uang logam membukit seperti tumpeng. "Ayya ... ya ... ya ... Lui...!!" Ibu mertua Nyonya Deborah yang berumur hampir seratus tahun dan sedarig duduk juga terkejut. Nenek ini tak pernah tersenyum. Bajunya, kulitnya, rambutnya, alisnya, gusinya yang sudah tak ditenggeri sebiji pun gigi, dan kucingnya, semuanya berwarna kelabu. Murung. Itulah kesan keseluruhan dirinya. Agaknya, ia melalui hari demi hari dipenuhi perasaan muak. Wajahnya selalu kesal mengapa malaikat maut tak kunjung menjemputnya. Ia tak tertarik lagi dengan kehidupan. Mendengar gemerincing koin yang ribut, ia merasa terganggu, mukanya menyeringai marah. "Nyah ...," seru Arai pada Nyonya Deborah. Santun dan berwibawa, seolah ia akan memborong seluruh isi toko dengan koin-koin itu. "Terigu 10 kilo, gandum 10 kilo, gula ...." Aku terkejut tak kepalang. "Rai! Apa-apaan ini?!" "Untuk apa segala terigu ...." Tangkas, Arai menekan jarinya di atas mulutku. "Sstttt!!Diam,Kal." "Nyah, jangan lupa minyak ...." Kutepis tangannya dengan marah, Arai tersentak. "Diamlah, Ikal. Lihat saja ...." Langsung kupotong, "Ke mana pikiranmu, Rail! Sudah setahun lebih kita menabung!!" "Tong! Tong! Tong!! Tong! Tong!!" Sang ibu mertua Nyonya Deborah menamparnamparkan piring kaleng tempat makanan kucing, menyuruh kami diam. "Sabar, Kal. Nan ...." "Tak ada sabar!!" "Ini penting, Kal. Bahan-bahan ini akan ...." "Tak ada penting!! Lupakah kau untuk apa kita susah payah menabung??!!" Arai marah karena alasannya kupotong terus. Dia geram karena aku tak mau mendengar penjelasannya. "Ya Tuhan, jangan lagi aku dipertemukan dengan orang ini!!!" Aku melompat menuju tumpukan koin, membuka karung gandum dan meraup permukaan meja untuk melungsurkan koin-koin itu kembali ke dalam karung. Arai tak tinggal diam. Disambarnya tanganku dan dikekang- nya tubuhku dari belakang seperti pegulat tradisional Iran. Terjadi tarik-menarik yang seru memperebutkan gunungan uang koin. Meja kaca bergoyang-goyang hebat. Nyonya Deborah terperanjat melihat pergumulan gaya koboi di tokonya. "Tagem!!! Taggeeeeeem!!" Nyonya Deborah menjerit ketakutan memanggilmanggil Tagem, kulinya. Kuli Sawang itu tengah bersandar kelelahan mengipasi dadanya dengan sobekan kardus di pokok pohon seri di muka toko. Lalu-lalang kendaraan menelan teriakan Nyonya Deborah. Anehnya putri kecil Mei Mei justru senang bukan main melihat kami beradu otot. la cekikikan, bertepuk tangan, dan ia jelas memihakku. Tanpa peduli duduk perkaranya, anak kecil pasti akan memihak orang yang berpenampilan lebih apik. Bagi anak TK itu, aku yang berkulit lebih terang dan keriting adalah jagoannya, pangeran penumpas kejahatan. Bentuk rahang Arai yang aneh pasti telah membuatnya menduga kalau Arai penjahat. "Ayo, Abang Keliting, sepak!! Sepak!! Kik ... kik ... kik ... hi... hi... sepak!! Tendang pelutnya!!" Adu tenaga semakin dahsyat karena Arai berhasil mengekang kedua tanganku. Ia unggul karena badannya lebih besar. Ia memitingku dari belakang dan memepetkan tubuhku ke lemari dagangan tembakau. Aku menguik ketika terjajar menghantam lemari itu. Mei Mei semakin girang. Gadis cilik yang tak kenal takut itu naik ke atas meja. Ibunya hilir mudik ketakutan. "Ayo, tinju, Bang. Talik lambutnya ...." Aku dan Arai berusaha sekuat tenaga saling mengalahkan. Mei Mei yang gendut berlari-lari di atas meja seperti wasit tinju. Mulutnya berkicau-kicau tak keruan. " Saudala-saudala, datanglah belamai-lamai!! Inilah peltandingan antala pendekal keliting melawan ...." Mei Mei terdiam menatap Arai. Kami juga terdiam, serentak menoleh padanya. Dengan ekspresi lugunya, putri kecil itu mengamati wajah Arai lalu ia berteriakngeri, "Dlakulaaaaaaa ...!!!" Arai tersinggung berat dan menumpahkan kekesalannya padaku. Ia menjepit leherku dengan tekukan sikunya. Tapi seperti kucing yang dimasukkan ke dalam karung, aku memberontak sejadi-jadinya. Ibu mertua Nyonya Deborah memaki-maki namun anehnya kemudian ia tertawa. Pek!! Pek!! Pek!! Pek!! Pek!! Ia bertepuk tangan dengan pinggan kaleng tadi seperti orang main tamborin. Ia menunjuk-nunjuk aku sambil mengepalkan tinjunya, kakinya menyepak-nyepak. Beliau jelas memihak Arai. Karena mendapat dukungan, Arai semakin beringas. Ia mendorongku ke lemari tembakau. Sebaliknya, aku semakin liar melawannya. Rak tembakau yang terbuat dari batangan besi setinggi tiga meter dengan berat ratusan kilo mulai bergoyang. Jika rak ini tumbang, seisi toko bisa celaka. "Tageeeeeeeeemmm!! Puik Tageeeeeemmmmm!!!" Nyonya Deborah berteriak histeris. Karena panik, Nyonya Deborah terpaksa memakai kata puik, sebuah makian dalam bahasa Sawang. Tagem masih tenang-tenang saja. la malah melambai- lambai, menggoda iringan wanita penjaga toko. Sebaliknya, melihat pertarungan semakin dahsyat, Mei Mei girang tak kepalang. la menjerit-jerit seperti burung prigantil yang dicabuti bulunya. "Ayo, Abang Keliting, sepak!! Tinju!!" Semangatku terpompa. Aku merasa memiliki tenaga ekstra sebab aku yakin sedang membela kebenaran. Aku meronta sejadi-jadinya dari kuncian Arai, menggelinjang seperti belut sehingga lemari raksasa itu limbung dan tiba-tiba .... Shrrrookkkk... braggghhh... brruukkkk!!! Brruukkkk!!! Brruukkkk!!! Tiga karung kertas yang berisi kapuk berjatuhan dari rak lemari tembakau. Karung-karung itu pecah berantakan dan gumpalan-gumpalan kapuk yang berbentuk seperti awan terhambur memenuhi lantai. Lalu tampak olehku pemandangan yang menakjubkan karena fan besar di tengah ruangan mengisap kapuk di atas lantai dan ribuan awan-awan putih kecil berdesingan meling- kar naik ke atas, indah dan harmonis membentuk spiral seperti angin tornado. Mei Mei terpana melihat pemandangan ajaib itu. Mulut mungilnya yang dari tadi berkicau kini terkunci lalu pelan-pelan menganga seperti ikan mas koki. la tertegun saat pusaran kapas itu maju mundur mendekatinya. Mata bulat buah hamlam-nya bersinar-sinar seakan ia melihat sesosok malaikat yang besar, tampan, dan bersayap melayang-layang ingin memeluknya. Mei Mei pucat pasi karena terpukau dalam ketakutan yang indah. Pinggan kaleng yang tengah digenggam ibu mertua Nyonya A Siong terjatuh tanpa disadarinya lalu berguling-guling ke tengah ruangan toko. Nyonya Deborah sendiri berhenti berteriak. Wutthh ... wutthh ... wutthhhh suara fan besar menggulung setiap gumpalan kapuk seperti jutaan kunang-kunang yang serentak beranjak. Arai melepaskan kunciannya dari tubuhku. Ia menengadah. "Subhanallah ...." "Subhanallah Ikal, lihatlah itu ...." Kepalaku berputar-putar mengikuti kisaran angin tornado awan-awan kapuk yang terkumpul ke atas dan terapung-apung memenuhi plafon sehingga toko kelontong itu seperti berada di atas awan, seperti hanyut di langit. Semua orang yang ada di dalam toko bungkam karena terperangah. Kami memandangi langit-langit toko yang dipenuhi kapuk seperti awan yang rendah. Pemandangan semakin sensasional ketika Nyonya Deborah mematikan fan dan saat itu pula awan-awan kecil itu berjatuhan, melayang-layang dengan lembut tanpa bobot. Mei Mei berteriak-teriak girang sambil melompatlompat, "Hujan saljuuuuuuu...." Mei Mei menangkap awan-awan kecil yang berjatuhan. Ibunya menghampiri anaknya, memeluknya. Mereka menari berputar-putar di bawah hujan salju. Aku dan Arai bersandar kelelahan. Di bawah hujan salju yang memesona pertikaian kami telah berakhir dengan damai. "Arai, kita memerlukan tabungan itu." "Aku tak punya banyak waktu, Kal...." "Nanti kujelaskan. Ikuti saja rencanaku, percayalah...." Aku menatap mata Arai dalam-dalam. Dia memang aneh tapi aku tahu tak ada bibit culas dalam dirinya. Di luar kami lihat Tagem berjalan gontai memasuki toko. Di ambang pintu ia berteriak, "Puik Tagem!!" la terkejut melihat toko telah kacau-balau dan menjadi putih, sementara juragannya bersukaria bermain- main di bawah hujan kapuk dan mertua Nyonya Deborah bertepuk tangan dengan piring kaleng. Kami kembali bersepeda dengan tergesa-gesa, meliuk-liuk membawa karung gandum dan terigu. Di perempatan Arai belok kiri. Aku masih tak mengerti maksud Arai waktu ia memasuki pekarangan rumah Mak Cik Maryamah. Kami masuk ke dalam rumah yang senyap. Dari dalam kamar, sayup terdengar Nurmi sedang menggesek biola. Arai menyerahkan karung-karung tadi pada Mak Cik. Beliau terkaget-kaget. Lalu aku tertegun mendengar rencana Arai: dengan bahan-bahan itu dimintanya Mak Cik membuat kue dan kami yang akan menjualnya. "Mulai sekarang, Mak Cik akan punya penghasilan!" sera Arai bersemangat. Mata Mak Cik barkaca-kaca. Seribu terima kasih seolah tak 'kan cukup baginya. Tubuhku yang dari tadi kaku karena tegang mengantisipasi rencana Arai kini pelan-pelan merosot sehingga aku terduduk di balik daun pintu. Aku menunduk dan memeluk lututku yang tertekuk. Aku merasa sangat malu pada diriku sendiri. Bibirku bergetar menahan rasa haru pada putihnya hati Arai. Air mataku mengalir pelan. Sungguh tak sedikit pun kuduga Arai merencanakan sesuatu yang sangat mulia untuk Mak Cik. Sebuah rencana yang akan kudukung habis-habisan. Sejak itu, aku mengenal bagian paling menarik dari Arai, yaitu ia mampu melihat keindahan di balik sesuatu, keindahan yang hanya biasa orang temui di dalam mimpi-mimpi. Maka Arai adalah seorang pemimpi yang sesungguhnya, seorang pemimpi sejati. Dan sejak itu, kami naik pangkat dari penebas akar banar dan pencabut rumpun purun menjadi penjual kue basah. Karena sasaran pasar kami adalah orang-orang bersarung, maka kami berjualan dari perahu ke perahu. Jika ada pertandingan sepak bola, kami berjualan di pinggir lapangan bola. Penghasilan sebagai penjual kue rupanya jauh lebih baik dari penjual akar banar. Yang paling menggembirakan, Mak Cik tak perlu lagi meminjam beras ke mana-mana. Bertahun-tahun berikutnya kami berganti dari satu profesi ke profesi lain untuk membantu nafkah orangtua. Ketika keluar dari kamarnya, Nurmi terkejut melihat karung-karung gandum dan tepung terigu. Dan ia terhenyak mendengar rencana Arai. Wajahnya sembap, namun Arai serta-merta menghiburnya. "Adinda, sudikah membawakan sebuah lagu untuk Abang?" Nurmi tersenyum. "'Juwita Malam'. Abang ingin lagu 'Juwita Malam'." Kami mengambil tempat duduk di dapur yang kumal itu, siap menyimak Nurmi. Dan sore yang sangat indah itu semakin memesona karena gesekan syahdu biola Nurmi. Merinding aku mendengar jeritan panjang biola yang meliuk-liuk pilu, jauh, dalam, dan tegar. Nurmi membawakannya dengan sepenuh jiwa seakan Arai adalah pahlawan keluarganya yang baru turun dari bulan. Juwita malum, siapakah gerangan puan Juwita malam, dari bulankah puan .... Aku dan Arai beruntung sempat melihat aksinya. Ketika itu kami masih kelas empat sekolah dasar. la sungguhsungguh pria tua jempolan. A Put namanya, terpesona aku dibuatnya. Waktu itu aku menganggapnya manusia paling hebat ketiga di dunia ini setelah ayahku dan seorang laki-laki berjanggut lebat, senang memakai jubah, bermata syahdu meradang yang tinggal di Jakarta dan menciptakan lagu merdu berjudul "Begadang". Kami merasa beruntung sempat menyaksikan kepiawaian A Put sebab ketika ia wafat ilmunya terkubur bersama dirinya. Tak ada yang mewarisinya. Anak cucunya malah malu membicarakan ilmu unik A Put yang mungkin hanya dikuasainya sendiri sejagat raya ini. Siang itu A Put duduk santai mengisap cangklong. Sarung bawahannya, kaus kutang bajunya, sandal jepit alas kakinya, tujuh puluh tahun usianya. Pasiennya nongkrong meringis-ringis persis anak-anak kucing tercebur ke kolam kangkung. A Put adalah dokter gigi kampung kami, dukun gigi lebih tepatnya. Mengaku mendapat ilmunya dari peri tempayan, laki-laki Hokian itu sungguh sakti mandraguna. Namanya kondang sampai ke Tanjong Pandan. Bagaimana tidak, ia mampu menyembuhkan sakit gigi tanpa menyentuh gigi busuk itu. Bahkan tanpa melihatnya. Alat diagnosisnya hanya sepotong balok, sebilah palu, dan sebatang paku. Ruang praktiknya adalah lingkar teduh daun pohon nangka dan ia hanya berpraktik berdasarkan suasana hati. Gigigiginya sendiri tonggos hitam-hitam. "Ini? Ini katamu! Aya, ya... tolol sekali! Yang betul! Ini? Di sini? Yakin?" Begitu pertanyaan A Put pada pasiennya. Ia menggerus-gerus permukaan balok dengan ujung paku, mencari-cari satu titik posisi gigi yang sakit. Maka balok itu adalah representasi gusi orang. Hebat luar biasa. Sang pasien merasa seakan sebuah benda bergerak- gerak dalam mulutnya, meraba setiap giginya. Ini adalah komunikasi telepatik antara sepotong balok, sebatang paku, seorang dukun nyentrik, dan sebuah tekak busuk. Jika benda imajiner itu terasa mengenai gigi yang sakit, sang pasien berteriak, "Yah ... hooh, hooh!! Di situ!!" A Put serta-merta memukul kepala paku dengan keras, menghunjamkannya ke dalam balok dan detik itu pula byarrr! Abrakadabra! Sim salabim! Tak tahu karena campur tangan jin, ilmu hitam, berkah sajen pada raja setan, atau sugesti, rasa sakit pada gigi itu dijamin lenyap saat itu juga, menguap seperti dompet ketinggalan di stasiun, aneh binti ajaib!! Tak ada sebiji pun obat, bahkan tak perlu membuka mulut! Suatu ketika antrean pasien A Put telah melampaui pagar kandang babinya. Para tetua Melayu kasakkusuk dan pagi-pagi sekali esoknya mereka mengantar senampan pulut panggang. "Selamat, Dokter A Put. Pimpinlah kampung ini, semoga sejahtera, Kawan...." Jika A Put memakan pulut panggang itu, maka saat itu pula ia dilantik jadi kepala kampung. Demikianlah prosesi di kampung kami, sangat fungsional. Jika hujan berkepanjangan, pawang hujan akan mendapat kiriman pulut panggang. Jika buaya mulai nakal, maka dukun buaya dinobatkan jadi kepala kampung. Jika anak-anak Melayu banyak lahir, sang paraji, penguasa tali pusar itu, dipastikan jadi ketua adat. A Put mendapat kehor- matan jadi presiden kampung kami karena tahun itu kasus borok gigi melonjak tajam. Kepemimpinan berdasarkan perintah alam itu berakhir sampai orang-orang Pasai membawa Islam ke suku-suku Melayu pedalaman. Para dukun dan pawang bangkrut pamornya digantikan oleh penggawa masjid. Belakangan kami dikenalkan pada model demokrasi aneh yang mungkin di dunia hanya ada di republik ini. Petinggi di Jakarta menyebutnya Demokrasi Terpimpin! Mengada-ada tentu saja. Sejak itu kampung-kampung orang Melayu diserbu manusia-manusia kiriman dari Palembang. Mereka tak kami kenal, rata-rata bergelar B.A. Mereka menjadi camat, bupati, sampai ketua KUA. Tapi itu pun tak lama. Segera setelah mahasiswa mengobrak- abrik kejahiliahan penyelenggaraan negara, kami dipimpin oleh bumiputra yang dalam pemilihan diwakili gambar jagung, pisang, dan kacang kedelai. Para mahasiswa yang hebat itu telah menebarkan kenikmatan demokrasi sampai jauh ke pulau-pulau terpencil. Saat ini Kacang Kedelai memimpin kampung kami. la dicintai dan berkuasa karena legitimasinya penuh, de jure hanya de jure, sebab kenyataannya penguasa tertinggi kampung kami, tak lain tak bukan, de facto, tak dapat diganggu gugat, tetaplah penggawa masjid. Para penggawa masjid sangat disegani. Mereka seperti trias politika: Taikong Hamim sang eksekutif atau pelaksana pemerintahan masjid sehari-hari, Haji Satar pembuat aturan sehingga seperti lembaga legislatif, dan Haji Hazani selaku yudikatif. Namun, dalam praktik mereka adalah robot-robot budi pekerti yang menganggap besi panas merupakan alat yang setimpal untuk meluruskan tabiat anak-anak Melayu yang telah terkorupsi akhlaknya. Mereka keras seperti tembaga. Setelah pulang sekolah, jangan harap kami bisa berkeliaran. Mengaji dan mengaji Al-Qur'an sampai khatam berkali-kali. Dan jika sampai tamat SD belum hafal Juz Amma, siapsiap saja dimasukkan ke dalam beduk dan beduknya dipukul keras-keras sehingga ketika keluar berjalan zigzag seperti ayam keracunan kepiting batu. Mereka lebih kejam dari orangtua kami sebab merekalah yang mengajari orangtua kami mengaji. Bahkan Pak Ketua Kacang Kedelai tak berkutik pada trias politika karena yang menyunat bapaknya, dengan kulit bambu, adalah Taikong Hamim. Dalam budaya orang Melayu pedalaman, siapa yang mengajarimu mengaji dan menyunat perkakasmu adalah pemilik kebijakan hidupmu. Aku dan Arai sering dihukum Taikong Hamim. Karena napasku tak panjang kalau mengaji pada suatu subuh yang dingin, aku disuruh menimba air dan mengisi tong sampai penuh, lalu aku dipaksa menyelam ke dalam tong itu membawa jeriken lima liter. Leher jeriken Dalam kancah kawah candradimuka masjid, di bawah pemerintahan trias politika itulah, kami mengenal Jimbron. Jimbron tak lancar berbicara. la gagap, tapi tak selalu gagap. Jika ia panik atau sedang bersemangat maka ia gagap. Jika suasana hatinya sedang nyaman, ia berbicara senormal orang biasa. Jimbron bertubuh tambun. Secara umum ia seperti bonsai kamboja Jepang: bahu landai, lebar, dan lungsur, gemuk berkumpul di daerah tengah. Wajahnya seperti bayi, bayi yang murung, seperti bayi yang ingin menangis—jika melihatnya langsung timbul perasaan ingin melindunginya. Jimbron adalah seseorang yang membuat kami takjub dengan tiga macam keheranan. Pertama, kami heran karena kalau mengaji, ia selalu diantar seorang pendeta. Sebetulnya, beliau adalah seorang pastor karena beliau seorang Katolik, tapi kami memanggilnya Pendeta Geovanny. Rupanya setelah sebatang kara seperti Arai, ia menjadi anak asuh sang pendeta. Namun, itu kecil sekali dan aku tak boleh timbul sebelum jeriken itu penuh. Aku megap-megap dengan bibir membiru dan mata mau meloncat. Arai lebih parah. Karena terlambat salat subuh, ia disuruh berlari mengelilingi masjid sambil memikul gulungan kasur. Kami terpingkal-pingkal melihatnya berlari seperti orang kebakaran rumah. Tuhan Tahu, tapi Menunggu pendeta berdarah Italia itu tak sedikit pun bermaksud mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid. Nasib Jimbron tak kalah menggiriskan dengan Arai. Dan gagapnya itu berhubungan dengan sebuah cerita yang memilukan. Dulu bicaranya normal seperti anak-anak lainnya. Jimbron adalah anak tertua dari tiga bersaudara. la memiliki dua adik kembar perempuan. Ibunya wafat ketika Jimbron kelas empat SD. Jimbron sangat dekat dan sangat tergantung pada ayahnya. Ayahnya adalah orientasi hidupnya. Suatu hari, belum empat puluh hari ibunya wafat, Jimbron bepergian naik sepeda dibonceng ayahnya, masih berkendara ayahnya terkena serangan jantung. Konon Jimbron pontang-panting dengan sepeda itu membawa ayahnya ke Puskesmas. la berusaha sekuat tenaga, panik, dan jatuh bangun terseok-seok membonceng ayahnya yang sesak napas sambil kesusahan memeganginya. Sampai di Puskesmas Jimbron, anak kelas empat SD itu, kehabisan napas dan pucat pasi ketakutan. la kalut, tak sanggup menjelaskan situasinya pada orang-orang. Lagi pula sudah terlambat. Beberapa menit di Puskesmas ayahnya meninggal. Sejak itu Jimbron gagap. Pendeta Geovanny, sahabat keluarga itu, lalu mengasuh Jimbron. Kedua adik kembar perempuannya mengikuti bibinya ke Pangkal Pinang, Pulau Bangka. Keheranan kami yang kedua adalah Jimbron sangat menyukai kuda. Kata orang-orang, ini berhubungan dengan sebuah film di televisi balai desa yang ditonton Jimbron seminggu sebelum ayahnya wafat. Dalam film koboi itu tampak seseorang membawa orang sakit untuk diobati dengan mengendarai kuda secepat angin sehingga orang itu dapat diselamatkan. Barangkali Jimbron menganggap nyawa ayahnya dapat tertolong jika ia membawa ayahnya ke Puskesmas dengan mengendarai kuda. Di kampung kami tak ada seekor pun kuda tapi Jimbron mengenal kuda seperti ia pernah melihatnya langsung. Jimbron adalah pemuda yang mudah mengantuk tapi jika sedikit saja ia mendengar tentang kuda, maka telinga layunya sontak berdiri. Jimbron segera menjadi pencinta kuda yang fanatik. Ia tahu teknik mengendarai kuda, asal muasal kuda, dan mengerti makna ringkikan kuda. Ia hafal nama kuda Abraham Lincoln, nama kuda Napoleon, bahkan nama kuda Syaidina Umar bin Khatab. Dengan melihat gambar wajah kuda, ia langsung tahu jenis kelamirmya. Tak ada satu pun hal lain yang menarik di dunia ini bagi Jimbron selain kuda. Jika kami menonton film Zorro di TV balai desa, maka jangan tanyakan pada Jimbron jalan ceritanya. Ia tak tahu. Tapi tanyakan jumlah kuda yang terlihat, berapa kuda hitam dan putih, bahkan berapa kali terde- ngar suara kuda meringkik, ia ingat betul. Jimbron terobsesi pada kuda, penyakit gila nomor 14. "Kud.... Kudddaa aadd... addaalah... kendarrraan perrranggg, Kal!! "He... he ... hewan yang... mm... mmmemenangkan ... pph ... ppe ... pperrrang Badarrrrrrr ...." Ia ingin melanjutkan ceritanya tapi kelelahan oleh gagapnya. Semakin ia excited, semakin parah gagapnya. Aku prihatin melihat mukanya. Sebuah wajah yang menimbulkan perasaan ingin selalu melindunginya. Polos, bersih seperti bayi. Kuduga Jimbron tak 'kan pernah tampak tua walaupun nanti usianya tujuh puluh tahun. "Binatang yang gagah berani Bron, hebat sekali, aku setuju," kuringankan beban hidupnya dengan mengakui bahwa kuda memang hebat. Ia sumringah. Tak perlu lagi meyakinkan aku meskipun sesungguhnya aku sudah sangat bosan. Jika berjumpa dengannya, tak ada cerita selain kuda, dari pagi sampai sore. "Kita tak bisa sembarangan dengan kuda, bisabisa kualat. Begitu kan maksudmu, Bron?" Ah, Jimbron mengangguk-angguk, tersenyum lebar sambil tersengal menahan kata yang terperangkap dalam kerongkongannya, terkunci dalam gagapnya. Ia menatapku sarat arti: aku sayang padamu, Sahabatku. Sungguh penuh pengertian! Dan suatu hari Taikong Hamim marah besar sebab di meja Jimbron berserakan gambar kuda dan tak ada lembar kosong di buku TPA-nya selain lukisan kuda. Jimbron disuruh maju ke tengah madrasah, dipertontonkan pada ratusan santri dan dipaksa meringkik. Matanya yang lugu, tubuhnya yang gemuk dan bahunya yang lungsur tampak lucu ketika tangannya menekuk di dadanya seperti bajing. Dan kami dilanda keheranan ketiga: Jimbron senang bukan main dengan hukuman itu. Meskipun Jimbron gembira dengan hukuman apa pun yang berhubungan dengan kuda, bagi kami Taikong Hamim tetap antagonis. Beliau selalu menerjemahkan aturan Haji Satar secara kaku tanpa perasaan. Maka dengan segala cara, kami berusaha membalas Taikong. Otak pembalasan ini tentu saja Arai. Cara yang paling aman, sehingga paling sering dipraktikkan Arai adalah mengucapkan amin dengan sangat tidak tuma'ninah. Cara ini sebenarnya sangat keterlaluan, tapi maklum waktu itu kami masih SD dan Arai memang memiliki bakat terpendam di bidang nakal. Setiap Taikong Hamim menjadi imam salat jamaah dan tiba pada bacaan akhir Al-Fatihah: "Whalad dholiiiiiin Maka Arai langsung menyambut dengan lolongan seperti serigala mengundang kawin. "Aaammmiiinnn ... mmiiinn ... mmiiiiiiiinnnnn ...." Tuhan Tahu, tapi Menunggu Arai meliuk-liukkan suaranya dan terang-terangan merobek-robek wibawa Taikong. Suaranya yang nyaring dan parau berkumandang dengan lucu membuyarkan kekhusyukan umat. Kami tak bisa menahan cekikikan sampai perut kaku. Kejahatan ini aman menurut Arai sebab Taikong tak bisa menentukan siapa pelakunya di antara ratusan anak-anak di saf belakang. Dan kami selalu kompak melindungi Arai. Menurut kami, cara ini adalah pembalasan setimpal untuk Taikong. Namun lihat saja, kejahatan ini, belasan tahun kemudian akan diganjar Tuhan dengan tunai melalui cara yang secuil pun tak terpikirkan oleh Arai. Taikong Hamim memang tak tahu tapi Tuhan mencatat dan Tuhan akan membalas. Seperti kata Anton Chekov: Tuhan tahu, tapi menunggu. Karena di kampung orangtuaku tak ada SMA, setelah tamat SMP aku, Arai, dan Jimbron merantau ke Magai untuk sekolah di SMA Bukan Main. Pada saat itulah PN Timah Belitong, perusahaan di mana sebagian besar orang Melayu menggantungkan periuk belanganya, termasuk ayahku, terancam kolaps. Gelombang besar karyawan di-PHK. Ledakan PHK itu memunculkan gelombang besar anak-anak yang terpaksa berhenti sekolah dan tak punya pilihan selain bekerja untuk membantu orangtua. Anak-anak yang kuat tenaganya menjadi pendulang timah. Seharian berendam di dalam lumpur, mengaduk- aduk aluvial, meraba-raba urat timah di bawah tanah, mempertaruhkan kelangsungan hidup pada kemampuan menduga-duga. Mereka yang kuat nyalinya bekerja di bagian tengah laut. Pekerjaan berbahaya yang berbulan-bulan baru bisa bertemu keluarga. Mereka yang kuat tenaga dan kuat nyalinya siang malam mencedok pasir gelas untuk mengisi tongkang, makan seperti jembel dan tidur di bawah gardan truk, melingkar seperti biawak. Anak-anak Melayu ini paling miris nasibnya. Karena sesungguhnya setiap butir pasir itu adalah milik ulayatnya, setiap bongkah kuarsa, topas, dan galena itu adalah harkat dirinya sebagai orang Melayu asli, tapi semuanya mereka muat sendiri ke atas tongkang untuk menggendutkan perut para cukong di Jakarta atau pejabat yang kongkalikong. Menjadi pendulang, nelayan bagan, dan kuli pasir, berarti mengucapkan selamat tinggal pada Tut Wuri Handayani. Mereka yang masih bersemangat sekolah umumnya bekerja di warung mi rebus. Mencuci piring dan setiap malam pulang kerja harus menggerus tangan tujuh kali dengan tanah karena terkena minyak babi. Atau menjadi buruh pabrik kepiting. Berdiri sepanjang malam menyiangi kepiting untuk dipaketkan ke Jakarta dengan risiko dijepiti hewan nakal itu. Atau, seperti aku, Arai, dan Jimbron, menjadi kuli ngambat. Sebelum menjadi kuli ngambat kami pernah memiliki pekerjaan lain yang juga memungkinkan untuk Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum tetap sekolah, yaitu sebagai penyelam di padang golf. Tentu susah dipahami kalau kampung kami yang miskin sempat punya beberapa padang golf bahkan sampai 24 hole. Dan tentu aneh di padang golf ada pekerjaan menyelam. Orang-orang kaya baru dari PN Timah yang tak berbakat dan datang hanya untuk menegaskan statusnya tak pernah mampu melewatkan bola golf melampaui sebuah danau bekas galian kapal keruk di tengah padang golf itu. Penjaga padang golf akan membayar untuk setiap bola golf yang dapat diambil pada kedalaman hampir tujuh meter di dasar danau. Bola golf di dasar danau dengan mudah dapat ditemukan karena indah berkilauan, persoalannya, danau itu adalah tempat buaya-buaya sebesar tong berumah tangga. Lalu kami beralih menjadi part time office boy di kompleks kantor pemerintah. Mantap sekali judul jabatan kami itu dan hebat sekali job description-nya: masuk kerja subuh-subuh dan menyiapkan ratusan gelas teh dan kopi untuk para abdi negara. Persoalannya, lebih sadis dari ancaman reptil cretaceous itu, yaitu berbulan-bulan tak digaji. Sekarang kami bahagia sebagai kuli ngambat. Karena pekerjaan ini kami menyewa sebuah los sempit di dermaga dan pulang ke rumah orangtua setiap dua minggu. Ngambat berasal dari kata menghambat, yaitu menunggu perahu nelayan yang tambat. Para penangkap ikan yang merasa martabat profesinya harus dijaga baik- baik sampai batas dermaga, tak pernah mau repot-repot memikul tangkapannya ke pasar ikan. Lalu yang mereka tindas habis-habisan untuk melakukan pekerjaan sangat kasar berbau busuk itu disebut kuli ngambat. Selain anakanak yang tekad ingin sekolahnya sekeras tembaga, pemangku jabatan kuli ngambat umumnya adalah mereka yang patah harapan. Tak diterima kerja di mana-mana, karena saking tololnya sampai tak tahu nama presiden republik ini, atau karena saking jelek konditenya bahkan perkumpulan calo karcis—yang juga merupakan gerombolan bromocorah—tak mau mengajak mereka. Setiap pukul dua pagi, berbekal sebatang bambu, kami sempoyongan memikul berbagai jenis makhluk laut yang sudah harus tersaji di meja pualam stanplat pada pukul lima, sehingga pukul enam sudah bisa diserbu ibu-ibu. Artinya, setelah itu kami leluasa untuk sekolah. Setiap pagi kami selalu seperti semut kebakaran. Menjelang pukul tujuh, dengan membersihkan diri seadanya— karena itu kami selalu berbau seperti ikan pari— kami tergopoh-gopoh ke sekolah. Jimbron menyambar sepedanya, yang telah dipasanginya surai sehingga baginya sepeda jengki reyot itu adalah kuda terbang pegasus. Aku dan Arai berlari sprint menuju sekolah. Sampai di sekolah, semua kelelahan kami sertamerta lenyap, sirna tak ada bekasnya, menguap diisap oleh daya tarik laki-laki tampan ini, kepala sekolah kami ini, guru kesusastraan kami: Bapak Drs. Julian Ichsan Balia. Sebagai anak-anak yang sejak sekolah dasar diajarkan untuk menghargai ilmu pengetahuan dan seni, aku, Arai, dan Jimbron sungguh terpesona pada Pak Balia. Berpostur sedang, berkulit bersih, 170 cm kurang lebih, Pak Balia selalu tampil prima karena ia mencintai profesinya, menyenangi ilmu, dan lebih dari itu, amat menghargai murid-muridnya. Setiap representasi dirinya ia perhitungkan dengan teliti sebab ia juga paham di depan kelas ia adalah center of universe dan karena yang diajarkannya adalah sastra, muara segala keindahan. Wajahnya elegan penuh makna seperri sampul buku ensiklopedia. Tulang pipi yang lonjong membuatnya tampak sehat dan muda ketika timbangannya naik dan membuatnya berkarakter menawan waktu ia kurus. Warna cokelat adalah sandang kesenangannya sebab seirama dengan warna bola matanya. Ilmu yang terasah oleh usia yang senantiasa bertambah, menjadikan dua bola kecil cokelat yang teduh itu bak perigi yang memeram ketinggian ilmu dalam kebijaksanaan umur. Kreatif! Merupakan daya tarik utama kelasnya. Ketika membicarakan syair-syair tentang laut, beliau memboyong kami ke kampung nelayan. Mengajari kami menggubah deburan ombak menjadi prosa, membimbing kami merangkai bait puisi dari setiap elemen kehidupan para penangkap ikan. Indah menggetarkan. Tak pernah mau kelihatan letih dan jemu menghadapi murid. Jika kelelahan beliau mohon diri sebentar untuk membasuh mukanya, mengelapnya dengan handuk putih kecil bersulamkan nama istri dan putri-putrinya, yang selalu dibawanya ke mana-mana, lalu dibasahinya rambutnya dan disisirnya kembali rapi-rapi bergaya James Dean. Sejenak kemudian beliau menjelma lagi di depan kelas sebagai pangeran tampan ilmu pengetahuan. "What we do in life ..." kata Pak Balia teatrikal, "... echoes in eternity...!! Setiap peristiwa di jagat raya ini adalah potongan-potongan mozaik. Terserak di sana sini, tersebar dalam rentang waktu dan ruang-ruang. Namun, perlahan-lahan ia akan bersatu membentuk sosok seperti montase Antoni Gaudi. Mozaik-mozaik itu akan membangun siapa dirimu dewasa nanti. Lalu apa pun yang kaukerjakan dalam hidup ini, akan bergema dalam keabadian .... "Maka berkelanalah di atas muka bumi ini untuk menemukan mozaikmu!" Matahari sore kuning tua berkilat di mata cokelat Pak Balia. Sinarnya yang terang tapi lembut menghalau sisa-sisa siang. Di lapangan sekolah kami duduk rapatrapat merubungnya. Terpesona akan kata-katanya. Kami lena dibelai ujung-ujung putih perdu kapas yang bergelombang ditiup sepoi angin bak buih lautan, lena disihir kalimah-kalimah sastrawi guru kami ini. Dan tak dinya- na, apa yang dikatakan dan diperlihatkan Pak Balia berikut ini bak batu safir yang terhunjam ke hatiku dan Arai, membuat hati kami membiru karena kilaunya. Menahbiskan mimpi-mimpi yang muskil bagi kami. "Jelajahi kemegahan Eropa sampai ke Afrika yang eksotis. Temukan berliannya budaya sampai ke Prancis. Langkahkan kakimu di atas altar suci almamater terhebat tiada tara: Sorbonne. Ikuti jejak-jejak Sartre, Louis Pasteur, Montesquieu, Voltaire. Di sanalah orang belajar science, sastra, dan seni hingga mengubah peradaban...." Aku dan Arai tak berkedip waktu Pak Balia memperlihatkan sebuah gambar. Dalam gambar itu tampak seorang pelukis sedang menghadapi sebidang kanvas. Ada sedikit coretan impresi. Dan nun di sana, di belakang kanvas itu, berdiri menjulang Menara Eiffel seolah menunduk memerintahkan Sungai Seine agar membelah diri menjadi dua tepat di kaki-kakinya. Sungai itu pun patuh. Riak-riak kecilnya membiaskan cahaya seumpama jutaan bola-bola kaca yang dituangkan dari langit. Pada saat itulah aku, Arai, dan Jimbron mengkristalisasikan harapan agung kami dalam satu statement yang sangat ambisius: cita-cita kami adalah kami ingin sekolah ke Prancis! Ingin menginjakkan kaki di altar suci almamater Sorbonne, ingin menjelajah Eropa sampai ke Afrika. Harapan ini selanjutnya menghantui kami setiap hari. Begitu tinggi cita-cita kami. Mengingat keadaan kami yang amat terbatas, sebenarnya lebih tepat citacita itu disebut impian saja. Tapi di depan tokoh karismatik seperti Pak Balia, semuanya seakan mungkin. Pak Balia mengakhiri session sore dengan menyentak semangat kami. "Bangkitlah, wahai Para Pelopor!!. Pekikkan padaku kata-kata yang menerangi gelap gulita rongga dadamu! Kata-kata yang memberimu inspirasi!!" Para Pelopor!! Panggilan Pak Balia untuk kami sebagai siswa angkatan pertama SMA Negeri Bukan Main. Panggilan itu senantiasa membuncahkan tenaga dalam pembuluh darah kami. Tangan-tangan muda Melayu serta-merta menuding langit, puluhan jumlahnya, berebutan ingin tampil. "Makruf!!" Beruntung sekali, ia terpilih. Ketua Pramuka SMA Bukan Main ini meloncat ke depan. Kata-katanya patahpatah menggelegar seperti prajurit TNI ditanya jatah oleh komandan kompi. "Kaum Muda! Yang kita butuhkan adalah orangorang yang mampu memimpikan sesuatu yang tak pernah diimpikan siapa pun! John R Kennedy, Presiden Amerika paling masyhur!" "Hebat sekali, Ruf! Hebat sekali! Oke, Mahader!!" Mahader sudah seperti cacing kepanasan dari tadi. Seperti aku, Arai, dan Jimbron, ia termasuk dalam gelombang besar endemik kemiskinan yang melanda anak- Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum anak para kuli timah ketika perusahaan itu mulai diintai kolaps pertengahan 80-an. Mahader tak sabar ingin mengabarkan pada dunia kata-kata yang membuatnya tabah bangun setiap pukul tiga subuh untuk menggoreng getas dan menjunjungnya keliling kampung. Wajahnya sendu namun tegar selayaknya orang yang menanggung beban kesusahan menghidupi adik-adiknya. Kata-katanya garau dan syahdu, penuh tekanan seperti deklamasi. "Kesulitan .... Seluruh kesulitan dalam hidup ini ... adalah bagian dari suatu tatanan yang sempurna dan sifat yang paling pasti dari sistem tata surya ini.... "Pierre Simon de Laplace, bisa kita sebut sebagai seorang astronom nomor satu ...." Saktinya sastra, ungkapan seorang astronom dua ratus lima puluh tahun yang lalu di negeri antah berantah dapat menjadi penyebar semangat hidup seorang anak Melayu tukang getas yang bahkan tak dapat menyebut namanya dengan benar. Kami bersuit-suit mendengar kata-kata yang berkilauan itu dan selanjutnya tak terbendung kata-kata negarawan, ilmuwan, dan pahlawan membanjiri kelas Pak Balia yang memesona. "Zakiah Nurmala!!" Ditunjuk Pak Balia membuat hidungnya kembang kempis. la melonjak berdiri, suaranya melengking, "I Shall return! Jenderal Douglas Mac-Arthur, pahlawan Perang Dunia Kedua!!" Itulah kalimat keramat yang diucapkan sang jenderal besar itu untuk menyemangati tentara Amerika di Filipina. Kata-kata yang membakar semangat setiap orang hingga kini. Tiba-tiba, tanpa diminta Pak Balia, Arai melompat bangkit, melolong keras sekali, "Tak semua yang dapat dihitung, diperhitungkan, dan tak semua yang diperhitungkan, dapat dihitung!! Albert Einstein! Fisikawan nomor wahid!" Tinggi, runyam, membingungkan. Matanya melirik- lirik Nurmala. Pak Balia terpana dan berkerut keningnya, tapi memang sudah sifat alamiah beliau menghargai siswanya. "Cerdas sekali, Anak Muda, cerdas sekali...." Aku tahu taktik tengik Arai. la menggunakan katakata langit hanya untuk membuat Nurmala terkesan. Kembang SMA Bukan Main itu telah ditaksirnya habishabisan sejak melihatnya pertama kali waktu pendaftaran. Meskipun seumur-umur tak pernah punya pacar tapi Arai punya teori asmara yang sangat canggih. "Perempuan adalah makhluk yang plin-plan, Kal, maka pertama-tama, buatlah mereka bingung!!" Sehebat muslihat Casanova, kenyataannya, setiap melirik Arai, Nurmala tampak seperti orang terserang penyakit angin duduk. "Ikal!!" Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum Oh, Pak Balia menunjukku. Dari tadi aku tak mengacung karena aku tak punya kata-kata mutiara. Aku tak segera bangkit. Aku panik. "Ya, kau, Ikal...." Semua mata memandangku melecehkan. Tak pernah Pak Balia harus meminta dua kali. Memalukan! Aku gemetar karena tak siap. Tapi aku tetap harus berdiri. Tak mungkin mengkhianati euforia kelas ini. Dan pada detik menentukan, aku senang sekali, eureka!! Sebab aku teringat akan ucapan seniman besar favoritku. Akan kukutip salah satu syair lagunya. Aku berdiri tegak-tegak, berteriak, "Masa muda, masa yang berapi-api!! Haji Rhoma Irama!" Setiap memandangi anak-anak Sungai Manggar yang berkejaran menuju muara aku terus teringat dengan gambar Sungai Seine dari Pak Balia dulu. Anak-anak Sungai Manggar itu, muara, dan barisan hutan bakau adalah pemandangan yang terbentang jika kami membuka jendela los kontrakan kami di dermaga. Namun, tak seindah cerita romansa Sungai Seine, muara itu adalah muara air mata. Beberapa tahun lalu sebuah keluarga Melayu berkebun di pulau kecil tak jauh dari muara. Dalam perjalanan pulang, perahu mereka terbalik. Dua hari kemudian orang melihat sosok-sosok mengambang pelan, lekat satu sama lain, mengikuti anak Sungai Manggar. Sang ayah, dengan kedua tangannya, memeluk, merengkuh, menggenggam seluruh anggota keluarganya. Istrinya dan ketiga anaknya semuanya berada dalam dekapannya. Ia ingin menyelamatkan semuanya. Sebuah upaya yang sia-sia. Tapi anak tertuanya, Laksmi, selamat. Gadis kecil itu tak sadarkan diri, tersangkut di akar-akar bakau. Sejak itu semenanjung tempat keluarga itu ditemukan dinamakan orang Semenanjung Ayah. Laksmi dipungut seorang Tionghoa Tongsan pemilik pabrik cincau dan ia bekerja di situ. Tapi seperti Jimbron dengan Pendeta Geo, bapak asuh Laksmi justru menumbuhkan Laksmi menjadi muslimah yang taat. Sayangnya sejak kematian keluarganya, kehidupan seolah terenggut dari Laksmi. Ia dirundung murung setiap hari. Jelas, meskipun sudah bertahun-tahun terjadi, kepedihan tragedi di Semenanjung Ayah masih lekat dalam dirinya. Dan selama bertahun-tahun itu pula, tak pernah lagi—tak pernah walau hanya sekali—orang melihat Laksmi tersenyum. Senyumnya itu sangat dirindukan semua orang yang mengenalnya. Karena senyumnya itu manis sebab wajahnya lonjong dan ada lesung pipit yang dalam di pipi kirinya. Tapi kejamnya nasib hanya menyisakan sedikit untuk Laksmi: sebuah pabrik cincau reyot, masa de- Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum pan tak pasti, dan wajahnya yang selalu sembap. Laksmi selalu menampilkan kesan seakan tak ada lagi orang yang mencintainya di dunia ini, padahal, diam-diam, Jimbron setengah mati cinta padanya. Jimbron bersimpati kepada Laksmi karena merasa nasib mereka sama-sama memilukan. Mereka berdua, dalam usia demikian muda, mendadak sontak kehilangan orang-orang yang menjadi tumpuan kasih sayang. Kepedihan yang menghunjam dalam diri mereka menyebabkan Laksmi kehilangan senyumnya, dan Jimbron kehilangan suaranya. Mereka berdua mengandung kehampaan yang tak terkira-kira dalam hatinya masing-masing. Setiap Minggu pagi Jimbron menghambur ke pabrik cincau. Dengan senang hati, ia menjadi relawan pembantu Laksmi. Tanpa diminta ia mencuci kaleng-kaleng mentega Palmboom wadah cincau itu jika isinya telah kosong dan ikut menjemur daun-daun cincau. Seperti biasa, Laksmi diam saja, dingin tanpa ekspresi. Di antara kaleng-kaleng Palmboom mereka berdua tampak lucu. Jimbron yang gemuk gempal, sumringah, dan repot sekali, hanya setinggi bahu Laksmi yang kurus jangkung, berwajah lembut, dan tak peduli. Sering Jimbron datang ke pabrik membawakan Laksmi buah kweni dan pitapita rambut. Jimbron ingin sekali, bagaimanapun caranya, meringankan beban Laksmi meskipun hanya sekadar mencuci baskom. Jika pembeli sepi, Jimbron beraksi. Bukan untuk merayu atau menyatakan cinta, bukan, sama sekali bukan, tapi untuk menghibur Laksmi. Dari kejauhan aku dan Arai sering terpingkal-pingkal melihat Jimbron bertingkah seperti kelinci berdiri. Tak diragukan, dia sedang meringkik, sedang menceritakan kehebatan seekor kuda. Laksmi semakin datar karena kuda sama sekali asing baginya, asing bagi semua orang Melayu. Kadang-kadang, dengan penuh semangat, Jimbron memamerkan aksesori baru sepeda jengkinya pada Laksmi yaitu sadelnya yang ia buat seperti pelana kuda. Kulit kambing didapatnya dari beduk apkir. Lengkap pula dengan kantong kecil untuk menyelipkan senapan meski kenyataannya diisinya botol air. Atau sepatunya yang ia pasangi ladam jadi seperti sepatu kuda, atau aksesori berupa tanduk sapi yang diikatkan pada setang sepedanya. Laksmi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Sering Jimbron menghampiri Pak Balia untuk meminta cerita-cerita komedi. Bersusah payah, terbata-bata, Jimbron membaca cerpen "Lelucon Musim Panas" karya Alberto Moravia atau "Karma" karya Khushwant Singh untuk Laksmi, Laksmi tetap saja murung. Jimbron, aku, Arai, atau siapa pun, bagaimanapun kami telah mencoba, tak pernah sekali pun berhasil memancing senyum Laksmi. Laksmi telah lupa cara tersenyum. Se- Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum nyum Laksmi telah tertelan kegelapan nasibnya. Jika mendengar kami mengisahkan fabel dan parodi, Laksmi memalingkan wajahnya, miris memandang langit, gamang melalui hari demi hari, perih memandang sulursulur anak Sungai Manggar di Semenanjung Ayahnya. Bertahun-tahun sudah Jimbron berusaha menarik Laksmi dari jebakan perangkap kesedihan. Tapi Laksmi seperti orang yang sudah terjebak jiwanya. Kami mulai cemas, sekian lama dalam kungkungan duka yang gulita, jangan-jangan Laskmi mulai tergantung pada perasaan yang mengharu biru itu, bahkan mulai menyukainya. Seperti veteran Perang Vietnam yang kecanduan pada rasa takut. Menurut kami, sudah saatnya Laksmi ditangani orang yang ahli. Setiap kami singgung kemungkinan itu pada Jimbron, dengan tujuan agar ia tidak kecewa, agar tak terlalu memendam harap, ia terpuruk, terpuruk dalam sekali. "Aku hanya ingin membuatnya tersenyum...," katanya berat.