Edensor Andrea Hirata Hidup dan nasib, bisa tampak berantakan, misterius, fantastis, dan sporadis, namun setiap elemennya adalah subsistem keteraturan dari sebuah desain holistik yang sempurna. Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apa pun terjadi karena kebetulan. Ini fakta penciptaan yang tak terbantahkan. Diinterpretasikan dari pemikiran agung Harun Yahya Jika hidup ini seumpama rel kereta api dalam eksperimen relativitas Einstein, maka pengalaman demi pengalaman yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalah cahay; i yang melesat-lesat di dalam gerbong di atas rel itu. Relativitasnya berupa seberapa banyak kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman yang melesat-lesat itu. Analogi eksperimen itu tak lain, karena kecepatan cahaya bersifat sama dan absolut, dan waktu relatif tergantung kecepatan gerbong— ini pendapat Einstein—maka pengalaman yang sama dapat menimpa siapa saja, namun sejauh mana, dan secepat apa pengalaman yang sama tadi memberi pelajaran pada seseorang, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain. Banyak orang yang panjang pengalamannya tapi tak kunjung belajar, namun tak jarang pengalaman yang pendek mencerahkan sepanjang hidup. Pengalaman semacam itu bak mutiara dan mutiara dalam hidupku adalah lelaki yang mengutuki hidupnya sendiri, namanya Weh. Laki-Laki Zenit dan Nadir Kini lihatlah perbuatan Weh. Taikong Hamim, penggawa masjid, sampai mengacung-acungkan tombak mimbar pada khalayak yang silang sengketa. "Tahu apa kalian soal hukum agama! "Jangan mandikan mayatnya di masjid! Biar dia hangus di neraka berdaki-daki!" Langit, kemudi, dan layar, itulah samar ingatku tentang Weh. Tapi di sekolah lama Molten Bass Technisce School di Tanjong Pandan, aku pernah melihat fotonya. Tak bohong orang bilang bahwa dia bukan sembarang, karena Belanda hanya menerima pribumi yang paling cerdas di sekolah calon petinggi teknik kapal keruk timah itu. Foto kuno itu sudah buram. Weh seorang pemuda yang gagah. la bergaya, berdiri condong menumpukan tubuh kekarnya di atas pemukul kasti. Namun, sesuatu yang menyayat tersembunyi dalam matanya. Seringainya hambar, jauh, dan kesakitan. Weh mengawasi lekat siapa pun yang mendekati fotonya. Aku menatapnya, lama, lalu bisikan garau mendesis dari foto itu, "Engkau, laki-laki zenit dan nadir...." Bulu tengkukku meruap, seseorang seakan berdiri di belakangku, aku berbalik, sepi. Mengapa Weh kesakitan? Semula ia baik-baik saja, bahkan tempatnya terhormat di kelas. Sampai penyakit nista merampok hidupnya. Ia kena burut. Burut terkutuk yang meniup skrotum dan kelakilakiannya, bengkak seperti balon sampai jalannya pengkor. Jampi dan ramuan tak mempan. la atau sanak leluhurnya pernah melangkahi Qur'an, kualat, tuduh orang kampung tanpa perasaan. Hidup Weh disita malu. Semangat pemuda penuh harapan itu tumbang. la keluar dari Technisce School, mengasingkan diri, meninggalkan tunangannya. Weh menjadi nelayan, tinggal di perahu. Aku masih kecil dan Weh sudah tua ketika kami bertemu. Weh adalah sahabat masa kecil ayah ibuku. Puluhan tahun ia telah hidup di perahu. Perkenalan kami terjadi gara-gara aku disuruh ayahku mengantar beras dan knur untuknya. Semula aku ragu mendekati perahunya. Laki-laki itu keluar dari lubang palka, tubuhnya aneh. Ia tampak miris bertemu manusia. "Lemparkan!" hardiknya melihat benda-benda di tanganku. Aku terkejut. Enak saja, tidak adil. Ayahku membawa kebaikan untuknya dan ia sama sekali tak punya basa-basi. Dia bisa menakuti siapa saja, bukan aku. Weh meradang, aku bergeming. "Keras kepala! Mirip sekali ibumu!" Ia menibar pokok terunjam, merapatkan perahunya ke pangkalan. Aku melompat dan berdiri tertegun di buritan. Sampai aku pulang kami tak berkata-kata. Esoknya, tak tahu apa yang menggerakkanku, aku kembali ke pangkalan. Weh juga pasti tak tahu mengapa ia kembali menibar pokok terunjam. la hilir mudik di depanku lalu menghunus sebilah terampang dari punggungnya sambil menunjuk gerinda di dekatku. Tanpa bicara, aku meraih terampang itu, memutar gerinda, dan mengasah lekak-lekuknya. Aku masih tak tahu mengapa setiap hari aku mengunjungi Weh. Yang kutahu, ketika melihat matanya yang bening dan kesakitan, hatiku ngilu, ketika melihat jalannya timpang karena burut mengisap air dalam tubuhnya, mengumpul di selangkang, kubuang pandanganku karena hatiku perih, dan ketika melihatnya tidur, memasrahkan tubuhnya yang dikhianati nasib pada senyap sungai payau, aku gelisah sepanjang malam. Akhir bulan aku memecahkan tabungan pramukaku lalu bersepeda puluhan kilometer ke Manggar demi satu tujuan: membeli radio saku untuk Weh. "Irama Semenanjung Pak Cik, programa RPM Malaysia. Banyak pantun dan lagu cinta, pasti Pak Cik senang." Weh menerima radio itu, meletakkannya di atas rak, dan tak menyentuhnya selama seminggu. Dua minggu berikutnya aku harus ke Tanjong Pandan mengikuti ujian sekolah. Tak tahu mengapa, setiap hari di Tanjong Pandan, aku merindukan Weh. Kembali dari Tanjong Pandan aku bergegas ke pangkalan. Dekat perahu Weh kudengar sayup lagu sendu. Aku menyelinap pelanpelan. Weh tidur meringkuk sambil memeluk radio pemberianku. Tak pernah kulihat wajahnya sedamai itu. Programa RPM Malaysia mengalunkan "Kasih Tak Sampai", kemerosok, timbul tenggelam. Aku menggenggam kuatkuat bungkusan beras di tanganku, hatiku mengembang. Berminggu-minggu berikutnya aku bersusah payah membujuk ayahku agar diizinkan berlayar bersama Weh. "Tak ada orang yang bernyali ke Mentawai hanya dengan menaikkan layar. Kautahu, Bujangku? Weh menyelami teripang, empat puluh meter di dasar Lingga yang pekat, dengan tabung udara dadanya saja. Hanya dia yang masih berani ke Pulau Lanun. la tak peduli lagi dengan nyawanya." Ayah memilih kata dengan teliti. la tak ingin aku terinspirasi keberanian Weh yang gelap. Namun, semakin keras Ayah melarangku, semakin kuat inginku. Ketika Ayah menyerah, semalam suntuk tak dapat kupejamkan mataku. Akhir pekan, pagi buta, kami bertolak ke tenggara. Weh mengambil jalur pintas penuh bahaya. Perahu ia layarkan melintasi lor-lor ganas Karimata. Di selat sempit itu, Laut Jawa dari utara dan Laut Cina Selatan beradu, terjebak dalam pusaran yang dahsyat. Aku melihat buih berlimpah- limpah. Perahu bergoyang halus tapi cepat serupa denting senar sitar, setiap benda gemeletar, paku-paku yang mengikat papan berderak bak gemelutuk gigi, seolah akan bingkas meledak. Perahu meluncur pelan dan waswas dalam intaian maut, laksana melintas titian serambut terbelah tujuh di atas neraka yang berkobar-kobar. Terlepas dari daya isap pusaran air, Weh tersenyum melihatku yang pucat karena telah memuntahkan seluruh isi lambungku. Perahu terlontar memasuki perairan Kalimantan di wilayah Tanjung Sambar. Tengah malam, Weh menyalakan obor, merapal sebaris mantra, aku merinding melihat gerakan-gerakan halus di bawah air. Ribuan kerisi dan cumi-cumi menyerbu perahu. Sampai habis tenagaku meraupnya. Mereka tersihir cahaya obor dan aku tertenung kehebatan Weh. Hari pertama bulan September, Weh mengajakku berburu ikan hiu gergaji. Kami menghadang kawanan besar, memotong jalur migrasi kafilahnya dari terumbu-terumbu Belonna yang dingin di Tasmania menuju Kuala Trenggano yang hangat. Semakin dekat, raksasa-raksasa kelabu itu ternyata jauh lebih besar dari yang selalu kubayangkan. Mereka adalah gajah di laut. Air bah bersimbah setiap kali mereka mengempaskan dadanya yang dilekati teritip. Aku gemetar mengokang tuas harpun dan membidik seekor hiu yang lebih panjang dari perahu kami. Kuinjak pegas tuas, tempuling yang ditambat seutas tali melesat dari larasnya, menikam punggung hiu dan penguasa laut itu menggelinjang berguling-guling seperti buaya mematahkan leher lembu. Simpul tempuling dalam genggamku tersentak, aku terlempar ke udara, melayang, lalu tertujam ke laut laksana peluru. Weh terjun menyelamatkanku. la meraih tali tempuling, aku menahannya. Aku tak rela melepaskan hiu besar itu. Ini adalah perburuanku yang pertama, pertaruhan harga diriku. Aku terombang-ambing diseret hiu yang kalap. Weh mencabut sundang di pinggangnya, dengan satu gerakan tangkas, meski tertahan tekanan air. la menampas tali tempuling. Aku terlonjak ke permukaan, kehabisan napas. "Keras kepala! "Keras kepala, seperti ibumu! "Kau bisa tewas tak berguna!" Weh menatapku tajam. Aku tahu ia membacaku. Kuangkat wajahku, tak kusembunyikan siapa diriku. Perburuan itu, pembuktian martabat itu, berakhir dengan kesimpulan bahwa aku pantas diajak Weh mengelana samudra. Ada gunanya tak kulepaskan hiu gergaji itu. Kami beranjak pulang. Di tengah perjalanan kembali, Weh menghampiriku. "Ikal, malam ini, engkaulah nakhoda," tantangnya. Aku terpana. Laut, hanya laut dan riak gelombang, delapan penjuru angin, sejauh pandang. Bagaimana aku akan membawa perahu kecil ini pulang? "Kalau salah arah, kita akan terdampar di Teluk Hauraki, Selandia Baru, mati kering seperti ikan asin." Aku mereka-reka arah, tanpa kompas, tak dapat kubuat keputusan apa pun. Weh bersungut-sungut, menikmati saat berkuasa karena ilmunya. Ia diam sampai aku menyerah. Sejurus kemudian, ia menunjuk ke arah yang jauh, nun di sana, empat kerlip bintang trapesium perlahan menjelma di horizon. "Rasi belantik.... "Itulah timur...." Aku kagum. Perlahan kuputar gagang kemudi. Sekarang barat daya jelas bagiku. Ke sanalah tujuanku. Sepanjang malam aku menatap belantik. Rasi itu bergerak pelan seakan meniti langit karena bumi berputar. Columbus telah lama tahu pengetahuan ini, maka ia berani bertaruh bumi ini bulat. Tengah malam, trapesium belantik terpancang tepat di atas kepalaku, kubelokkan perahu ke timur laut. Weh berkisah. "Tahukah engkau, Ikal...? "Langit adalah kitab yang terbentang...." Perahu menyusur gugusan pulau. "Sejak masa Azoikum, ketika kehidupan belum muncul, langit telah mencatat semua kejadian di muka bumi...." Dedaunan trembesi yang merunduk memagari tepian delta, pukat yang centang-perenang, tonggak-tonggak tambak yang diabaikan, laut sepi pasang malam, dan kecipuk anak-anak buaya muara, tepekur menyimaknya. "Semburat awan-awan tipis itu ...." Weh menuding langit utara. Berjuta serpih putih terapung- apung seperti telah dihalau tenaga dahsyat, punggung gemawan berkilau membias cahaya rembulan. "Adalah ekor puting beliung yang sepanjang hari ini menyapu Selat Gaspar...." Dramatis. "Awan-awan sisik di tenggara sana mengabarkan sebentar lagi telur-telur ikan belanak akan menetas ...." Aku terpesona. "Angin ini, semilir angin ini! Ikal! Dapatkah kaurasakan?" Weh bersidekap, kedinginan. "Ini bukan Angin Selatan! Ini Angin Timur! "Artinya, kemarau akan panjang tahun ini." Weh bangkit. "Tampakkah olehmu lingkaran itu?" Weh menunjuk berjuta bintang, tak kasat olehku lingkaran itu karena tersembunyi di antara gemerlap miliaran benda langit. la menarik sebatang kayu bakar dan melukis langit. Bara kayu bakar melingkar merah. Aku mengikuti lukisannya. Perlahan, seperti menyimak gambar tiga dimensi, sebentuk lingkaran merekah. la membagi lingkaran menjadi dua belas iris. Ajaib! Di setiap puncak jejarinya tampak bintang yang lebih gemerlap dari sekitarnya. Dipatrinya simbol-simbol aneh dalam setiap iris lingkarannya, berulang- ulang, sehingga dapat kugambar dalam kepalaku. Pada setiap simbol Weh bersabda, "Keseimbangan, perawan, Leo sang singa, matahari pertama musim panas, bintang kastor, musim menyemai benih ...." Mendebarkan! Langit adalah kitab yang terbentang, kata Weh. Laki-laki uzur ini memiliki indra keenam untuk membagi lapisan langit menjadi halaman-halaman ilmu. Aku mengerti, itulah konstelasi zodiak! Pada iris kesepuluh ia berpaling padaku. "Anak Muda, dirimu, lelaki Oktober. Sambaran api Mars dan arus dingin Pluto akan menjebakmu ...." Napasku tercekat. "Engkau, laki-laki zenit dan nadir...." Aku terkesiap. Malam itu, ingin kujadikan malam puisi-puisi Lucretius tentang jagat angkasa, galaksi andromeda, dan nebula- nebula triangulum. Tak 'kan kukejar Weh dengan pertanyaan-pertanyaan praktis untuk menerjemahkan kalimatnya yang bersayap-sayap. Malam itu terlalu agung untuk memohon petunjuk pedoman hidup yang oportunistik kepada seorang pembaca langit yang adiluhung. Angin meniup layar, perahu menusuk kabut. Dini hari, tampak sayup setangkup wujud diselimuti halimun hanyut. Apakah pulau itu tujuanku? Tiga ekor elang gugok melesat diam-diam. Aku tahu, predator itu ingin menyerbu kawanan pipit yang baru bangun di sabana Genting Apit. Darah akan bersimbah di bilah-bilah ilalang. Aku yakin, daratan itulah tujuanku, Belitong. Aku berdiri di hidung haluan seperti Admiral Hook. Aku telah menjadi seorang navigator alam. Weh-lah guru yang mengajariku mengeja bintang. Sulit kugambarkan perasaanku. Aku pulang dari tengah samudra dengan membaca langit. Weh telah membuatku, untuk pertama kalinya, merasa menjadi seorang laki-laki. Berat sekali ketika harus kembali kutinggalkan Weh dua minggu untuk ujian sekolah ke Tanjong Pandan. Menghadapi kertas ujian, pikiranku tak dapat kualihkan dari rencana kami berlayar ke Mentawai untuk melihat penduduknya melukis tubuh dengan tinta daun. Pulangnya, kami akan memburu gurita. Turun dari bus reyot, tak sempat aku pulang ke rumah, aku langsung ke pangkalan. Namun, kulihat perahu Weh limbung, layaknya bahtera tak bertuan. Penambatnya terseret lunglai. Lampu badai masih menyala. Layarnya bergulung. Di ujungnya terjuntai sepasang kaki yang pucat. Hatiku dingin. Aku melompat ke sungai, berenang menuju perahu. Tubuh Weh terbungkus lilitan layar, berayunayun. Laki-laki pembaca langit itu telah mati, mati meragan menggantung dirinya sendiri di tiang layar. Penyakit yang tak tertanggungkan telah merobohkan benteng terakhir semangatnya, benteng terakhir itu adalah aku. Tubuhku menggigil waktu membuka jalinan tali rami yang menjerat lehernya. Kupeluk tubuh Weh, wajahnya yang tua, keras, dan biru terkulai di lenganku. Di sakunya masih mendesis lagu-lagu cinta orang Melayu dari programa radio RPM Malaysia. Aku berteriak-teriak, tapi suaraku surut diisap sunyi semenanjung, serak ditingkah riak ombak, lindap ditelan angin, terhalau ke Laut Cina Selatan. Usungan digotong. Pemikulnya menggerutu. Seperti hidup mereka yang terbuang, kuburan para pembunuh diri itu pun dipisahkan, dikucilkan nun di sana, dekat rawa-rawa nifah, tempat gulma bergumpal-gumpal disarangi biawak. Aku diam terpancang seperti nisan-nisan kayu sekunyit yang didesaki ilalang. Orang Melayu bekerja keras sepanjang hidup, membanting tulang-belulang, berkeringat darah, berlumur cobaan berat, siapa yang menyerah tak dapat tempat di hati mereka. Hanya aku sendiri yang tersedan. Lututku lemas melihat Weh dicampakkan ke dalam lubang, diuruk sekenanya, ditancapi gagang pacul yang tadi patah waktu menggali liang lahatnya, lalu ditinggalkan begitu saja. Pesan terakhir Weh, zenit dan nadir, seperti akar ilalang yang menusuk-nusuk kakiku, menikam hatiku. Nanti, harus kujelajah separuh dunia, berkelana di atas tanah-tanah asing yang dijanjikan mimpi-mimpi, akan kutemui perempuan yang membuat hatiku kelu karena cinta, karena rindu yang menyiksa, untuk memahami kalimah misterius itu. Di kuburan usang, di antara nisan para pendusta agama itu, aku sadar aku telah belajar mencintai hidupku dari orang yang membenci hidupnya, dan Weh adalah orang pertama yang mengajariku mengenali diriku sendiri. Persyarekatan Bangsa-Bangsa Einstein kedua dalam hidupku—yang mengenalkanku pada diriku sendiri—adalah tokoh legendaris ini: Mak Birah, dukun beranak kampung kami. "Waktu kau lahir, Ikal.... "Nyalo." Nyalo, tak lain ucapan terakhir yang dipakai orang Melayu jika kehabisan kata untuk melukiskan dahsyatnya angin, gemuruh hujan, dan gempita petir. "Tengah malam pula...." Mengapa alam bergelora menyambutku? Tak jelas, yang pasti hanya saat itu ibuku senewen ingin anak perempuan. Ibu sudah bosan setiap hari dikerubuti laki-laki: ayahku dan empat orang abangku yang cenderung mengacau. Tertekan batinnya mengurusi makhluk yang secara alamiah punya ego lebih besar dari tubuhnya sendiri. Ibu, yang berteori bahwa seni pengelolaan rumah tangga terletak pada anak perempuan, mengaku lambat laun terkorosi jiwanya, sebab bujang-bujang di rumah kami hanya bisa diredam dengan menerapkan manajemen mandor kawat. Dulu, setelah mendapat anak lelaki pada persalinan pertama, Ibu tersenyum pahit mendengar Mak Birah meneriakkan Bujang! pada persalinan kedua. la bersalin lagi, Mak Birah memekik: Nomor tiga! Bujang lagi! Persis teriakan panitia penghitungan suara. Namun Ibu, yang besar dalam penindasan Jepang sehingga menjadi pribadi yang liat, tak sudi takluk meski Mak Birah, lagi-lagi, berseru bujang pada persalinan keempat. la pantang menyerah sebelum Mak Birah berteriak dayang! "Persalinan kelima ...," cerita Mak Birah. "Bahkan ibumu sudah menyiapkan nama anak perempuan." Nama itu, Nur Tantiana Wassalam. Nur adalah cahaya. Tantiana dari bahasa Melayu pedalaman, tanti', artinya ditunggu- tunggu. Wassalam, ya wassalam. Secara halus, nama itu berarti cahaya terakhir yang telah lama ditunggu-tunggu. Hari persalinan tiba. Mak Birah selalu menceritakan ini setiap aku mengantar tembakau untuknya. "Ibumu, perempuan yang keras pendiriannya.... "Kau tahu, Ikal? Tanggal 23 Oktober waktu itu, pukul setengah dua belas malam, hujan lebat. Sudah satu jam ibumu sakit perut, tapi tak sedikit pun ia mau mengejan." Perempuan tua temperamental itu meninggikan suaranya. "Kupaksa berkali-kali ia mengejan, dilawannya semua perintahku! Ibumu tersengal-sengal, matanya melotot melihat jam weker. "Jam weker! Masya Allah! Jam weker! Aneh, bukan?!" Tembakau yang tadi kuberikan tak dilinting Mak Birah tapi diremasnya menjadi bola kecil dan dibelesakkannya ke dalam geraham. Artinya, ia sedang serius. "Tak ada yang paham apa mau ibumu!" Cerita makin seru. "Hampir pukul dua belas malam, ketubannya pecah! Ibumu megap-megap tapi masih berkeras tak mau mengejan! Matanya tak berkedip mengawasi jam weker! Bibibibimu tak dapat membujuknya agar mengejan, keadaan sudah gawat, kami cemas bukan buatan! "Kuhardik ibumu: 'Nyi! Mengapa kaupandangi terus jam weker itu?! Kau mau melahirkan tidak?!' "Ibumu tak peduli! Sama sekali tak peduli! Dianggapnya angin saja gertakku! "Itulah kalau kau mau tahu watak ibumu! Keras seperti kawat! Aku marah besar!" Aku tegang menyimak. "Kumarahi lagi ibumu: 'Apa maumu Nyi?! Keluarkan bayimu! Sekarang!' "Ibumu pucat, kehabisan napas, tapi masih membatu! "Air ketuban bersimbah-simbah, aku panik, habis sudah kesabaranku! "Apa kau mau mati, Nyi!?' "Ibumu tersentak, ia menatapku, tajam sekali." Dan inilah bagian yang paling kusukai dari seluruh cerita ini. "Sambil terengah ibumu membentakku: 'Kautengok baik-baik jam weker itu, Rah! Tunggu sampai jarum panjangnya lewat angka dua belas! Aku ingin anak ini lahir tanggal 24 Oktober! Tidakkah kaudengar maklumat di radio?! Dua puluh empat Oktober adalah hari berdirinya Persyarekatan Bangsa-Bangsa, PBB! Hari yang penting! Aku mau anak ini jadi juru pendamai seperti PBB!'" Pukul dua belas malam lewat sedikit, bayi itu lahir, sungsang, kakinya lebih dulu. Baru setengah tubuhnya di alam bebas, lewat paha sedikit, bahkan sebelum matanya melihat dunia, demi mengecek propertinya, Mak Birah bersorak. "Nomor lima! Bujang!" Juru Pendamai Bayi nomor lima itu berkening luas. Ayahku menamainya Aqil Barraq Badruddin. "Aqil, bahasa Arab, artinya akal. Barraq adalah berkilauan, bahasa tinggi orang Yaman," papar Ibu. Peran serta Badruddin atau purnama agama tak lain adalah karena nama lelaki Melayu selalu berakhiran Din. Dalam terjemahan yang paling bebas, makna namaku itu kurang lebih Anak soleh berjidat mengilap yang tidak akan melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dalam hidupnya. Di belahan dunia lain orang boleh mengatakan apalah arti sebuah nama. Namun bagi orang Melayu pedalaman seperti kami, nama amat penting, nama berurusan dengan agama dan dianggap sumber aura. Din itu buktinya, asalnya Dienul Islam: agama Islam. Jika tabiat anak tak beres, pasti namanya yang pertama diselidik. Kebijakan purba itu dianut taat oleh ayahku. Ternyata, harapan menggelora yang diletakkan di atas deretan kata agung namaku itu, hancur berserakan. Aku belum sekolah waktu bersekongkol dengan adikku—si no mor enam yang juga bujang dan membuat ibuku kapok bersalin—menyembunyikan naskah khatib sehingga ia gelagapan di atas mimbar. Aku dan adikku, bak Qabil dan Habil. Kejadian itu menjadi memorandum premier kejahatanku seumpama catatan debut Qabil dalam sejarah kriminalitas umat. Kalau terompah Wak Haji pindah ke langit-langit dan beduk bertalu-talu bukan jam salat, pasti aku yang dicari karena memang aku pelakunya. Sering aku menyamar memakai mukena sepupuku, menyelinap dalam saf putri, membuat onar. Bulan puasa, aku melubangi buku-buku bambu dengan linggis, kuisi air dan karbit, lalu kuarahkan ke jendela masjid saat seisi kampung tarawih. Gas karbit yang mampat dalam lubang bambu yang sempit berdentum laksana meriam saat sumbunya kusulut. Jemaah kocarkacir. "Keriting berandaaaaaalll!!" teriak Taikong Hamim, penggawa yang kondang garangnya. Aku ditangkap. Malamnya aku didamprat ibuku. "Lihatlah dirimu itu!" bentak Ibu. "Inikah sang juru pendamai itu!? Bikin malu!" Wajahnya kaku karena bersusah payah menahan diri. Aku tahu, sebenarnya Ibu ingin menghamburkan omelan yang lebih tajam, tapi pasti ia merasa setiap kata yang ia semprotkan memantul lagi kepadanya. la sadar aku menuruni watak kepala batunya, karena setiap inci diriku berasal dari setiap inci dirinya. "Terserah Yah Ni...." Ayah yang pendiam hanya menatapku putus asa. Dalam keadaan ini, biasanya Ayah menaikkanku ke tempat duduk belakang sepeda Forever-nya, mengikat kakiku ke tuas di bawah sadel dengan saputangannya agar tak terlibas jari-jari ban, lalu memboncengkanku ke bendungan PN Timah. Sepanjang jalan Ayah menasihatiku tentang kedamaian hidup seperti dicontohkan burung-burung prenjak berdasi, capung-capung, dan kaum kecebong. Pulangnya aku dibelikan tebu yang ditusuk tangkai-tangkai lidi. Kejadian meriam bambu itu adalah bukti bahwa nama Aqil Barraq Badruddin terlalu berat untukku. Ayah memutuskan untuk menggantinya. Demi menemukan nama baru, Ayah rajin berunding dengan juru tulis kantor desa, perawat puskesmas, polisi pamong praja, pelayan restoran, penjaga pintu air, atau siapa saja yang berseragam. Bagi Ayah, orang-orang berseragam lebih pintar dari orang kebanyakan. Siang ini ia berbincang dengan pria yang gerak- geriknya seperti beruk karena ia seorang pemanjat kelapa. Di kampung kami ada persatuan pemanjat kelapa dan mereka berseragam. Pulang ke rumah, Ayah bersukacita. "Telah kutemukan nama baru untuk si Ikal itu, Bu!" "Kabar gembira!" jawab Ibu. "Dengan nama ini, kau pasti jadi santri teladan, Ikal." Waktu itu aku dan adikku tengah dihukum mencuci piring karena tanpa alasan jelas mengibarkan bendera merah putih setengah tiang. Pengembara Samia "Tak tanggung-tanggung, Bu, kata Mahader pemanjat kelapa, nama ini dapat membuat orang menjadi bijak." Aku ngomel dalam hati, bagaimana kalau aku tak sudi dengan nama baru itu? Ayah: Arti nama ini adalah pria lemah lembut nan berjiwa besar! Aku: Hmm... bagus sekali ya, tak seorang pun minta pendapatku, padahal akulah yang akan memikul nama itu seumur hidup! Adikku, yang gembrot dan lugunya minta ampun itu, tak peduli. la meniup-niup gelembung sabun. Bruuuphhh... brupphh. "Apakah gerangan nama yang hebat itu, Yah Ni?" Ayahku bangkit, berkumandang. "Waaa ... dudh!! Wadudh! Itulah namanya! Kata Mahader, nama itu gelar untuk menghormati orang yang paling tinggi akhlaknya di kalangan pengembara Samia!" Ibu: Subhanallah! Mahasuci Allah! Hebat nian nama itu! Aku: Wadudh? Pastilah pengembara berkafiyeh yang suka minum susu kambing itu! Adikku: Bruuuphhh... brupphh. Sayang seribu sayang, pengembara Samia yang bijak bestari itu menjelma menjadi garong. Tak lama setelah nama agung itu dilekatkan kepadaku, aku memimpin komplotan santri untuk menjarah tambul, penganan yang disumbangkan umat ke masjid jika Ramadan. "Ketua Wadudh," begitu santri- santri itu memanggilku. Nakalku makin menjadi. Aku blingsatan mencari diriku sendiri, tersesat dalam ide-ide yang sinting. Dengan sogokan sebungkus kuaci, kuhasut adikku si nomor enam itu untuk menyanyikan lagu "Indonesia Raya" dengan pengeras suara masjid. Suaranya yang cadel melolong-lolong seantero kampung. Aku dan Ayah kena sidang. "Wadudh sudah tak bisa diatur!! Tak boleh lagi dia ke masjid ini!" Haji Satar emosi. Para penggawa yang mengelilingi kami menganggukangguk. "Oh, gawat...." Wajah Ayah biru menahan malu. la menatapku. Tatapan yang tak pernah kukenal sebelumnya. Naluriku berbisik, Ayah akan mengambil tindakan ekstrem untuk mengganjarku. Aku mengerut ketakutan. "Onar! Hanya onar saja dibuatnya!!" Wak Tarjik histeris. Kopiahnya pernah kulumuri minyak rem. Ayah makin tajam menatapku. Aku tak pernah dikasari ayahku, bahkan ia tak pernah menaikkan suaranya kepadaku, tak pernah, walau hanya sekali. Namun, kejadian "Indonesia Raya" itu memang sudah kelewat batas. Majelis menuntut Ayah bertindak tegas. Dalam mata Ayah, jelas kubaca ia tak tega kepadaku. Posisinya serbasalah. Ia bak Ibrahim yang diperintah Tuhan menyembelih anaknya. Aku miris membayangkan dibuang Ayah ke pesantren Pulau Penyengat, menyeberangi Selat Melaka, tak pulang bertahun- tahun. Aku terlalu kecil untuk sanksi sekeras itu. "Beri hukuman berat sekalian agar Wadudh jera!" hardik Taikong Hamim. Berat sekali cobaan Ayah. "Bagaimana keputusanmu, Pak Cik?! Apa tindakanmu agar tabiat buruk Wadudh tak terulang lagi?!" Taikong tak sabar, nadanya mengancam. Suasana hening. "Bagaimana, Pak Cik?" Ayah berulang kali menarik napas panjang. "Baiklah, Taikong...." Suara Ayah terbata-bata karena ia akan menyesali keputusan kejamnya padaku. Tapi ia tak punya pilihan lain. Aku terkulai di lengannya. Majelis waswas menunggu keputusan keras Ayah.... "Akan kuganti lagi namanya...." Partner in Crime Ratusan ribu kalong menyerbu pesisir. Perutnya buncit karena puas menjarah putik kemang di pulau-pulau kecil tak bertuan. Kepaknya sombong tak peduli. Hewan berparas mengerikan serupa tikus terkutuk itu mendekor langit dengan bercak-bercak hitam, hanyut di angkasa dilatari deburan troposfer. Belitong menjelang malam, adalah semburan warna dari seniman impresi yang melukis spontan, tak dibuat-buat, dan memikat. Azan magrib mengalir ke dalam rumah-rumah panggung orang Melayu, umat berduyun- duyun menuju masjid, menuju kemenangan. Masjid, seperti oase bagi semua anak Melayu udik. Di sana, bukan sekadar tempat salat dan mengaji, tapi tempat bermain dan membuat janji-janji. Masjid nan indah, tasbihnya berupa-rupa, kaligrafinya memesona, dan pilar-pilar tingginya memantul-mantulkan suara. Di atas lantai pualam terbentang sajadah panjang dari Turki, semerbak harum setanggi, kitab-kitab tua sejarah nabi, dan lebih dari Ayah kembali pusing memikirkan namaku. Wajahnya redup. Diusap-usapnya kopiah resaman-nya. la kehabisan cara mengatasiku dan kehabisan nama untukku. "Baiklah Bujang, sekarang pilihlah sendiri nama untukmu...." Saat itu aku tengah membolak-balik halaman majalah Aktuil. Di salah satu pojoknya aku membaca berita usang tentang polisi Italia yang dibuat repot seorang wanita sinting karena memanjat tiang telepon dan mengancam menerjunkan diri jika Elvis Presley tak membalas suratnya. Nama wanita itu Andrea Galliano. "Ayahanda, bagaimana kalau Andrea?" Telinga Ibu berdiri. "Aih! Nama macam apa itu? Itu bukan nama orang Islam!" semuanya, para jemaah putri! Belum lagi satu kegembiraan yang aneh, kegembiraan yang secara ajaib menjelma kalau Ramadan tiba. Mungkin jika Ramadan, orang Islam mendadak menjadi dermawan, berebutan mengantar tambul ke masjid. Semuanya semakin indah karena keluarga kami memungut Arai, sepupu jauhku, yang mendadak menjadi sebatang kara dalam usia delapan tahun. Maka, aku memanggilnya Lone Ranger. la memanggilku Tonto dan kami segera menjadi partner in crime. Ayah berpendirian lain. Mungkin karena ia sudah mati akal. "Kalau begitu maumu Bujang, apa tadi? Andrea... ah, bagus juga kedengarannya, tak ada salahnya dicoba ...." Ibu tak terima. "Yah. Ni, tak ada nama orang Melayu seperti itu. Itu nama orang Barat. Mereka tak peduli soal nama dan itu nama anak perempuan." Ayah menangkis. "Bukankah selalu kauidamkan anak perempuan, Bu?" Ibu berbalik meninggalkan kami, marah, tapi aneh, ia tersenyum. Mulai malam itu aku punya nama baru. Di peraduan kukenang kembali nama-namaku. Aku menarik kesimpulan, ternyata tabiat orang tak berhubungan dengan gelar yang disematkan kepadanya, bukan pula bagaimana ia menginginkan orang hormat kepadanya, tapi lebih pada berapa besar ia menaruh hormat kepada dirinya sendiri. Kebenaran sederhana ini membuat hatiku ngilu. Rahasia Gravitasi Ketika pertama kali melihatnya, melihat paras kukunya, lebih tepatnya, aku merasa seperti dipeluk arus Sungai Lenggang, berenang bersama lumba-lumba, dijemput jutaan kunang-kunang, lalu diterbangkan menuju bintang, la tersenyum, aku tak dapat bernapas. "Namaku A Ling ...," katanya menyalamiku, menggenggam hatiku. Ingin kusampaikan satu nama terbaik dari deretan nama agung pemberian ayahku, tapi tak satu pun kuingat. Di depan gadis kecil Hokian itu, aku lupa semua namaku. Perasaan indah memancar sampai ke ujungujung simpul pembuluh darahku. Minggu depan kami akan bertemu. Berkali-kali aku berkaca. Rupanya aku telah berkumis! Maka tak ada alasan takut untuk minta izin kepada bapaknya. Kami akan naik komidi putar! Sabtu sore, dengan enam helai kumis terhunus, kudatangi toko kelontong Sinar Harapan milik bapak- nya, A Miauw. Laki-laki gendut itu sedang menjentikkan biji-biji sempoa. Melihatku, jentikannya makin keras. "Ba ... Ba... Baba...." "Apa Ba, Ba? Mau apa!?" Sebenarnya dia tahu aku ingin mengajak putrinya. "Ba, hmm ... hmm ... mmm ...." "Apa! Mau apa!?" "Begini Ba... hmm ...." "Apa begini, begini?!" Tiba-tiba A Ling muncul dari balik tirai. la menarik tanganku, kami kabur. "A Ling! "Oi hii na boui?!.1 "Chon lisak!!2 "A Ling! "A Liiiiing...!! "Njoo Xian Liiiiiiing...!!!" Teriakan bapaknya layap dan kami melayang-layang dalam komidi. Indah sekali, melebihi ledakan aurora di atas belantara Amazonia. Kuberi tahu Kawan, rahasia romansa komidi putar adalah fisika sederhana: hukum gravitasi! Waktu komidi mencapai posisi empat puluh lima derajat dari porosnya, daya tarik bumi membuat mempelai dalam kurungan ayam tadi seperti akan terjungkal. A Ling 1 Mau ke mana? 2 Ke sini! Rupanya, tak ada yang lebih aneh selain orang dimabuk cinta. Segalanya tiba-tiba berubah menjadi serbabaik. Kini, dalam penglihatanku, setiap benda menjadi indah, semuanya memiliki dimensi geometris yang berseni. Sekolah Muhammadiyahku yang doyong seperti gudang kopra itu ternyata bangunan kubus simetris yang efisien, bergaya etnik tropikal dengan spesifikasi multifungsi: sebagai kelas dan kadang-kadang sebagai kandang ternak. Bukankah optimal? Kalong-kalong yang rakus bukan lagi tikus yang terkena kutukan tapi hewan langka familia Palaeochiropteryx tupaiodon yang harus dilindungi, kalau perlu dengan undang-undang. Pengganggu hewan rupawan itu tak lebih dari manusia tak tahu diri. Taikong Hamim! Haji Marhaban Hamim bin Muktamar Aminnudin nama lengkapnya, sama sekali bukan guru ngaji yang kejam, bukan, sahisteris, takut campur manja, memeluk erat lenganku. Perasaanku melambung, melesat-lesat seperti mercon banting. Gadis Hokian itu menatapku mohon perlindungan dan aku jatuh cinta, sungguh jatuh cinta, untuk pertama kalinya. ma sekali bukan, tapi ia tak lain manusia terpilih penegak syiar Islam, ulama penting penyelamat anak-anak Melayu dari rayuan iblis. Aku mengaji dengan khusyuk. Kacamata Taikong sampai merosot, bibirnya tumpah. Ia bergegas menemui ayah ibuku. "Tak pernah kulihat Ikal seperti ini, Pak Cik, teduh nian tabiatnya sekarang. Kalian apakan dia?" Ayah kaget, sumringah. Ibu ternganga. "Mahasuci Allah! Bu, percayakah kau sekarang?" Ibu masih menganga. "Apa kataku soal nama Italia itu!" Segitiga Tak Mungkin Arai, Weh, dan Mak Birah, bagiku seperti bangunan segitiga tak mungkin, impossible triangle Oscar Reutersvard dengan dimensi yang susah diterjemahkan, dengan sudut- sudut yang mengandung anomali. Mak Birah, seorang protagonis, amat menghargai kehidupan dan menganggapnya sebagai perayaan kebesaran Allah. Sebaliknya Weh, sang antagonis, mengutuki hidupnya sendiri. Baginya, kelahiran adalah keputusan aklamasi tanpa negosiasi dan selamatlah manusia yang tak pernah lahir. Sedangkan Arai, ketika orang yang senasib dengannya tersuruk-suruk, ia malah memperlihatkan jiwa besar, lebih dari siapa pun. Hari ini, di kelas, Lone Ranger itu menggenggam tanganku kuat-kuat. Ia terpesona pada benda yang dibawa guru sastra SMA kami, Pak Balia. "La originalidad consiste en volver al origen, Antoni Gaudi, maestro mozaik, Barcelona 1877." Dengan gaya teatrikal, Pak Balia memikat murid-muridnya sambil mengelus benda itu—seekor iguana dari tanah liat replika karya Gaudi. "Orisinalitas berarti kembali pada bentuk orisinal." Kulit iguana itu ditempeli ratusan mozaik berwarnawarni dari pecahan kecil porselen: piring, kendi, tempayan, dan ubin. Unik, ganjil, artistik. "Murid-muridku, berkelanalah, jelajahi Eropa, jamah Afrika, temukan mozaik nasibmu di pelosok-pelosok dunia. Tuntut ilmu sampai ke Sorbonne di Prancis, saksikan karya-karya besar Antoni Gaudi di Spanyol." Kalimat itu adalah letupan pertama angan-angan yang menggelisahkan kami sepanjang waktu. Pungguk merindukan bulan! Tapi kepribadian Arai membuatku selalu berada di puncak Everest semangatku. "Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpimimpi itu," katanya. Esoknya Arai menumpang truk ke Tanjong Pandan. la terbanting-banting di dalam bak, berdiri di celah tong-tong timah, hanya untuk membeli poster Jim Morrison. "Penyanyi kesayanganku, Kal!" Arai bangga memamerkan poster itu. Tak tampak lelah di matanya. "Mengapa Jim Morrison, Rai?" "Karena aku akan berjumpa dengannya, walau hanya pusaranya, di Prancis!" Arai yakin pada Jim Morrison, yakin pada Prancis, dan yakin pada pujaan hatinya Zakiah Nurmala, perempuan yang selama tiga tahun di SMA ditaksirnya, dan selama tiga tahun itu pula ia ditolak. Tak pernah kujumpai orang segigih Arai. Suatu ketika, pada bulan puasa, kami harus pulang karena ayahku sakit. Tak ada kendaraan yang dapat ditumpangi. Kami berjalan kaki, tiga puluh kilometer dari kota tempat SMA kami berada. Matahari membara, tepat di atas kepala. Panas menjerang tanpa ampun, aspal meleleh. Perutku kosong, kerongkongan kering. Aku melangkah seperti rangka kayu yang reyot. Pandangan berkunang-kunang. Kami kehausan dan menderita dehidrasi, bahkan sudah tak lagi berkeringat. Aku tak sanggup, waktu melewati danau aku ingin membatalkan puasaku. "Jangan," sergah Arai tersengal-sengal. la membopongku. Kami melangkah terseret-seret. Aku tak mampu bertahan. Kembali melewati danau, aku mendesak ingin minum. "Jangan," sergah Arai. "Jangan, Tonto, jangan menyerah." Arai menaikkan tubuhku ke atas punggungnya. la memikulku. Langkahnya limbung, terseok-seok berkilo-kilo meter. la istirahat sebentar, lalu memikulku lagi. Napasnya 35 meregang satu per satu, hidungnya mendengus-dengus seperti hewan disembelih. Tumitnya mengucurkan darah karena terjepit jalinan kasar sepatu karet ban mobil. la melangkah terus, terhuyung-huyung. Tak sedikit pun ia mau menyerah. Sampai di rumah, aku terkapar tak berdaya. Arai tersenyum. Aku menatap matanya dalam-dalam. Tiba-tiba Prancis rasanya dekat saja. Tamat SMA, aku dan Arai merantau ke Jawa. Di Bogor kami melamar kerja. Sebuah usaha distributor memanggil untuk wawancara. Wawancara: indah dan kota sekali kedengarannya. Kami mempersiapkan diri dengan membaca buku Tiga Serampai Rahasia Sukses Wawancara. Pada bab tujuh "Membuat Pewawancara Terkesan", pengarang buku itu berulang kali mengingatkan "jangan sekalikali mengulang pertanyaan pewawancara, karena pertama, Anda dianggap tidak memerhatikan, kedua, Anda tidak sopan, dan ketiga, ada yang tak beres dengan telinga Anda." Dengan pakaian terbaik, kami berangkat. Aku gugup. Seumur-umur baru kali ini aku diwawancara, ah, diwawancara, sungguh modern! Ternyata calon majikan kami, seorang wanita mungil berkulit putih, sangat informal. la menemui kami di kantornya, sebuah garasi. la baru bangun tidur, berkaus oblong dan celana pendek. Kardus besar bertumpuk-tumpuk beran- takan. Di luar garasi, seorang pria menggeber gas Harley Davidson. Gadis itu membaca surat panggilan. la berusaha keras mengingat sesuatu. Agaknya ia lupa pernah membuat panggilan. la mengamati kami dan berteriak, "Da... da... na...." Broomm ... bum! Bum ... brooomm .... Gadis itu menggeleng. Tendangan gas Harley memekakkan, ia menjerit. "Phaaa ... kha ...." Bromm!! Bum! Brom!! "Phaa " Brom! Brooomm.... "Kha!!!!???" "Naik kapal, Bu, ya, naik kapal!! Brom! Kapal ternak!!" "Phaa...??" Brom! Brom! "Kapal ternak, Bu, K A P A L...!" Bbroooomm.... "Phaa!?" "KAPAAAAAAALLL!" "Ja ... na ..." Broooom.... "Na... da??" Suaranya timbul tenggelam di antara raungan Harley. Kuingat pesan buku Tiga Serampai: pantang mengulang pertanyaan pewawancara! Aku pun menebak-nebak. "Dari Belitong, Bu...." Broomm ... bum! Brooomm .... "Ya, dari Belitong!!" Gadis itu jengkel. la membanting surat panggilan, menarik tanganku, lalu merogoh sakunya, mengeluarkan uang lima ribu. "Ini ongkos angkot3. Pulang sana!" Meski gagal dengan gadis kecil itu tapi tak mengapa. Paling tidak kami telah diundang, walau ia lupa pernah mengundang, dan diundang untuk wawancara, ah, kata itu, selalu menimbulkan perasaan senang dalam hatiku. Berbekal ijazah SMA, kami melamar lagi. Sebuah perusahaan penyedia keperluan dapur memanggil. Sesuai wejangan buku Tiga Serampai, kami melatih pernapasan agar tak gampang gugup. Kantor perusahaan itu adalah sebuah ruko. Kami memencet bel, rolling door bergulung naik. Di dalamnya, seorang perempuan gemuk berbalik. Agaknya tadi ia mau ke kamar kecil karena di depannya ada pintu bertulisan TOILET. Ia mengamati kami yang berdiri di ambang pintu ruko. "Kalian diterima," katanya. Ya, begitu saja. Tanpa basa-basi apa pun, bahkan tanpa mempersilakan masuk dan tanpa wawancara! Perempuan itu masuk ke dalam toilet, srak! Srok! Srak! Srok! lalu keluar dan sambil mengeringkan tangannya yang basah dengan tisu, ia bersabda, "Potong rambut Angkutan kota—Peny. gondrongmu itu, mandi yang bersih, besok pagi pukul enam datang lagi ke sini." Cepat dan praktis. Tak ada kejadian seperti yang sering kulihat di TV, misalnya: Congratulations! Selamat bergabung! Silakan menandatangani kontrak, Anda akan menjadi aset penting perusahaan kami! Atau, Orang dengan kualifikasi seperti Andalah yang kami cari selama ini! Esoknya perempuan itu menyuruh kami naik ke bak mobil pick up, berkeliling, lalu menurunkan kami di sebuah perumahan. la menyerahkan dua tas besar dan memberi sedikit instruksi. Jadilah kami salesman alat-alat dapur, dari pintu ke pintu. Hanya beberapa minggu bekerja, kami dipecat. Penjualan kami memalukan, demikian istilah perempuan itu. Nasibku membaik karena diterima bekerja di kantor pos. Sedang Arai merantau ke Kalimantan, bekerja dan kuliah di sana. Sambil bekerja di kantor pos Bogor, aku melanjutkan kuliah. Lewat surat kukabarkan kepada ayahku bahwa aku telah menjadi seorang amtenaar dalam kolom pangkat tata usaha, dan punya seragam. Benar pendapat Ayah dulu, mereka yang berseragam tampak lebih pintar. Pangkatku: Pengatur Muda Pos. Bukan sembarang, Kawan. Dengan pangkat itu aku berwenang mencairkan wesel sampai seratus lima puluh ribu rupiah. Di atas angka itu, atasanku, Amtenaar Odji Dahrodji, yang turun tangan. Aku berjasa bagi mahasiswa miskin yang tak punya bukti sah bahwa ia warga Republik, sehingga sulit meng- uangkan wesel. Biasanya mahasiswa IPB dari daerah minus itu cengar-cengir menghadapku, dan wajahnya berbunga waktu punggung weselnya kuhantam dengan cap sakti mandraguna ini: Saat menghujamkan cap itu aku dilanda perasaan menjadi orang penting, dirasuki sindrom kekuasaan. OK, Power is sweet. Sekarang aku paham mengapa orang gila kuasa. Aku mengerti mengapa banyak pejabat hilir mudik ke paranormal agar tetap berjaya, dan maklum melihat pejabat pensiun segera kena borok usus atau mati separuh badan. Aku dan Arai berhasil menyelesaikan kuliah tepat waktu. Kami mengikuti tes beasiswa untuk sekolah strata dua ke Eropa. Sejak kecil aku harus bekerja keras demi pendidikan, mengorbankan segalanya. Harapan yang diembuskan beasiswa itu membuatku terpukau. Aku sadar bahwa apa yang kualami selama ini bukanlah aku sebagai diriku. Beasiswa itu menawarkan semacam turning point: titik belok bagi hidupku, sebuah kesempatan yang mungkin didapat orang yang selalu mencari dirinya sendiri. Aku telah tertempa untuk mengejar pendidikan, apa pun taruhannya. Aku memutuskan keluar dari pekerjaan di kantor pos yang telah menggiringku ke kutub moderat. Semakin lama semakin berkurang tantangannya. Pekerjaan itu tidak memberiku kelimpahan, tapi memberi keamanan finansial dan kehidupan yang itu-itu saja, demikian gampang diramalkan kesudahannya. Aku terjamin secara sederhana, terlindung oleh sistem, stabil secara psikologis, mapan secara sosial, dan semua itu membuatku bosan. Aku merasa seperti tupai yang sibuk menggendong pinangnya, kura-kura yang mengerut ke dalam tamengnya, atau siput yang sembunyi di balik cangkangnya. Aku ingin hidup mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa- rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium: meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar ke arah yang mengejutkan. Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin. Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan. Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup! Aku dan Arai menerima surat pengumuman tes beasiswa itu di Belitong. Dr. Michaella Woodward yang memberi komentar pada pengumuman itu membuat kami berbesar hati. Intinya, ia menganggap hasil riset kami berpotensi melahirkan teori baru dalam disiplin ilmu kami masing-masing. Karena itu Dr. Woodward meluluskan tes beasiswa kami. Aku gembira, berbulan-bulan kutekuni buku tebal yang runyam berjudul Financial Econometrics, sebelum menyusun proposal risetku, ternyata ada gunanya. Namun, aku tahu persis, kesuksesan proposalku bukan hanya karena aku dapat mengaplikasikan teori ketidakpastian— termasuk gerak Brown atau segala sebaran Gauss—untuk memetakan interkoneksi telekomunikasi, namun karena Motivation Letter-ku yang hebat luar biasa. Beginilah kutulis motivasiku: Akan saya sumbangkan seluruh ilmu dan pengalaman riset yang saya dapatkan di Sorbonne demi kemajuan nusa dan bangsa, demi tanah. tumpah darah saya! Tak berlebihan saya sampaikan bahwa secara diam-diam, sebenarnya saya telah lama bercita-cita ingin mencurahkan seluruh kemampuan yang saya miliki, tak digaji pun tak apa-apa, demi mengangkat harkat dan martabat umat manusia yang masih terbelakang di negeri saya, negeri yang benar-benar saya cintai dengan sepenuh jiwa .... Aku yakin, kata-kata yang kusadur dari sebuah buku berjudul Garis-Garis Besar Hainan Negara itu telah membuat Dr. Woodward terharu hatinya dan tak menemukan alasan untuk tidak memberiku beasiswa. Maka, bagi kawan yang sedang menulis buku Tiga Serampai Tata Cara Memperoleh Beasiswa Luar Negeri, kusarankan jangan lupa memasukkan siasatku itu. Arai berusaha menghubungi Zakiah Nurmala—cinta bertepuk sebelah tangannya itu—untuk pamitan. Zakiah pasti menerima surat Arai, tapi tak sudi membalas. Seperti dulu sejak SMA, perempuan itu tetap indifferent, tak acuh. Baru kutahu ada orang yang ditampik hampir sepuluh tahun tapi tetap kukuh berjuang. Arai tak pernah tertarik pada perempuan lain. Zakiah adalah resolusi dan seluruh definisinya tentang cinta. la telah menulis puluhan puisi untuk belahan hatinya itu, telah menyanyikan lagu di bawah jendela kamarnya, berhujan-hujan mengejarnya, dan bersepeda puluhan kilometer hanya untuk menemuinya lima menit. Zakiah tetap tak acuh. Mungkin Arai telah diserang sakit gila nomor dua puluh enam: takbisa membedakan diterima dan ditolak. Sementara aku merindukan A Ling. Malam hari, aku keluyuran, menjumpai para sahabat lama: dermaga dan toko kelontong Sinar Harapan. Aku melamun di depan toko yang telah diabaikan itu. Pintu pagar berdecit-decit ditiup angin. Kuingat A Ling berdiri di balik pagar itu, tersenyum padaku. A Miauw telah meninggal. Keluarganya terpecah belah. Sejak meninggalkanku ke Jakarta waktu aku SMP dulu, tak ada yang tahu kabar A Ling. la pergi, aku merasa seakan semua makhluk di Belitong dinaikkan Nabi Nuh ke bahteranya, aku tak diajak, hanya aku sendiri tak diajak. Mengetahui aku dan Arai akan pergi jauh, doa Ayah lebih panjang dari biasanya. la bersimpuh terpekur. Jika kami cium tangannya, ia menggenggam tangan kami kuat-kuat. Kami tahu, sebagian hatinya ingin kami tak pergi. Kukatakan pada Ayah, kami akan terbang enam belas jam dan transit di Frankfurt. Ayah bersedekap, tercenung. Tak sedikit pun kenyataan itu dipahaminya. Aerodinamika gelap baginya, ia bahkan tak paham arti kata transit. Aku semakin dekat dengan ayahku. Setiap hari aku mengakurkan jam weker kenangan pensiun PN Timah untuk Ayah—setelah beliau bekerja di perusahaan itu hampir empat puluh tahun. Jam serupa juga dihadiahkan PN Timah untuk kakekku dan ayah kakekku. Ayah baru pensiun. Mengherankan ia dapat bertahan di tambang selama puluhan tahun. Ayah adalah seorang family man. Sejak muda ia mengencangkan ikat pinggang, bekerja membanting tulang. Seluruh hidupnya tercurah hanya untuk istri dan anak-anaknya. Setiap tindak lakunya hanya untuk memberikan yang terbaik pada keluarga. Minggu pagi, kami bertolak ke Bandara Soekarno Hatta naik Fokker 28 dari bandara perintis Buluh Turnbang di Tanjong Pandan. Pagi yang amat pilu. Kami berpamitan, Ayah menyerahkan bungkusan untuk kami. "Buka jika telah sampai di sana," katanya. Ayah mengatakan ia bangga aku mampu mencapai apa yang tak pernah dicapainya. Aku bangga ayahku mengatakan itu, karena itu berarti ia melihat dirinya dalam diriku. Ayah melepas kami seperti tak 'kan melihat kami lagi. Bagi beliau, Eropa tak terbayangkan jauhnya. Ayahku yang pendiam, tak pernah sekolah, puluhan tahun menjadi kuli tambang. Paru-parunya disesaki gas-gas beracun, napasnya berat, tubuhnya keras seperti kayu. Ia menatap kami seakan kami hartanya yang paling berharga, seakan Eropa akan merampas kami darinya. Air matanya mengalir pelan. Aku memeluk ayahku, ayah yang kucintai melebihi apa pun, tangannya yang kaku merengkuhku. Betapa aku menyayangi ayahku. Pesawat kecil itu terangkat, dari jendela kulihat Ayah melambai-lambai dengan saputangan, saputangan yang dulu sering dipakainya untuk mengikat kakiku pada tuas sepeda Forever-nya, supaya kakiku tak terjerat jari-jari ban. Setiap sore aku dibonceng Ayah naik sepeda ke bendungan. Dadaku sesak. Aku tahu aku akan merindukan laki-laki pendiam itu. Kulihat lambaiannya sampai jauh, sampai tak tampak lagi. Aku tersedu sedan. Curly Di Bandara Soekarno Hatta aku mempelajari lampiran surat pengumuman beasiswa Uni Eropa itu. Berlapis-lapis. Semuanya ada di sana: jalur detail perjalanan, penjemput, bahkan telah disiapkan alamat e-mail intranet, lengkap dengan user name dan password untuk akses data warehouse universitas. Kami akan ke Belanda dulu dan akan dijemput seorang pegawai dari kantor perwakilan Uni Eropa di Amsterdam lalu ke kantor pusat Uni Eropa di Belgia. Kulihat nama penjemput kami: Ms. F. Somers. Dari cara menulis namanya, aku mendapat kesan pastilah Somers ini seorang ibu-ibu gemuk, atau lajang lapuk, pegawai yang tak penting, pengurus hal remeh temeh dibagian administrasi. Ms. itu ditegaskan betul dalam deretan namanya. Suatu isyarat yang nyata, seperti bubungan tebal asap unggun Indian Cherokee, bahwa dirinya available, masih sendiri. Hijau, hijau seluas mata memandang. Biru, biru tak putus- putus, semakin tinggi semakin biru, samar, dan melesat, kutinggalkan Indonesia. Tiga puluh tiga ribu kaki di atas permukaan laut, enam belas jam paling tidak, diam, sepi, terapung- apung. Dini hari, lewat jendela kulihat tiga aliran sungai berkejaran. Kubuka buku saku Coffins World Atlas. Sungai- sungai itu—Rhein, Maas, dan Schelde—bermuara di Belanda. Permukaannya ganjil. Tak pernah kulihat tanah berwarna putih. Desember, musim salju. Tiba di bandara Schippol Arai membentangkan kedua tangannya lebar-lebar, persis seperti dilakukannya dulu di atas bak truk kopra ketika ia masih kecil saat aku dan ayahku menjemputnya: Dunia, sambutlah aku! Ini aku, Arai, datang untukmu! Demikian maknanya. Masih dalam lingkar pemanas Bandara Schippol, kami tak menyadari kalau suhu dingin di luar seganas gigitan hewan buas. Kami celingukan mencari wanita gemuk petugas administrasi itu. Pasti ia berdiri di sana, di antara para penjemput, sambil memegang benda semacam bat pingpong dengan tulisan dari tinta emas: Mr. and Mr. Arai Ichsanul Mahidin, welcome to Holland. Namun, tak ada tanda semacam itu. Yang ada hanya gadis muda berandal yang berteriak-teriak tak keruan ini. "Oiiik! Oiiik! Oiiiiikkkk!" Ia berlari-lari menuju kami, kami terkejut, menoleh kiri-kanan, siapakah dia! Ia pasti salah mengenali orang. "Oiiik! Oiiik! Oiiiikk!!" Tapi memang kami yang dipanggilnya. Aneh. Kami berhenti, ia megap-megap. "Waithhhh..." dengusnya. Ia membungkuk, keringatnya bersimbah, dadanya kembang kempis. Lalu ia tegak lagi, bertelakan pinggang sambil mengatur napas. Kami masih mematung. Bingung. Siapakah gadis berandal ini! Ia sangat jangkung, 180 senti mungkin. Atletis, padat berisi. Tubuhnya dibangun kerangka Kaukasia yang sempurna. Ia mengenakan shapely tank top. Perutnya kelihatan dan pasti dia sering sit up. Rambutnya berantakan, pirang menyalanyala. Belakangan kami tahu, oik adalah cara orang Belanda menyebut hai. Aku harus menengadah untuk melihat wajahnya dan aku terkesiap. Ia gadis muda yang luar biasa cantik, gorgeous. Aku seakan menatap cover majalah Vogue. Apa yang diinginkan wanita bule yang jelita ini! Ia mengatur napas dan kami terbius pesonanya. Ia sangat mirip Daria Werbowy, Anda tahu kan? Supermodel haute couture yang sering melenggok di Fashion TV berbusana Dolce and Gabbana itu. Kenal, kan? Kenal? Sudahlah, tak usah dipusingkan. Aku sendiri tak kenal. "EU scholarship awardees, yeeah ...?" tanyanya akrab. Tak menunggu jawaban ia nyerocos lagi. "Saya Famke ...." Ia menyalami Arai. Bola matanya biru langit, bukan, lebih indah, biru buah ganitri muda. "Famke Somers." Ya, Tuhan, inilah Ms. F. Somers yang kusangka ibuibu gendut petugas administrasi itu. Sekarang, terus terang aku gugup karena ia cantik tak kepalang tanggung. "Saya mengenali kalian dari foto saja...." Ia tersenyum senang. "Saya Arai," orang udik itu memperkenalkan diri. "What! Ray!" "Oh, no ...A... rai." "Great ...." Kalau sempat Arai mengiyakan Ray itu, aku sudah siap mengenalkan diri sebagai curly4. "And you ... bagaimana sebaiknya aku memanggilmu, Kawan?" Native Eropa pertama yang kami temui di tanah airnya sendiri, keramahannya mencengangkan. Ia meraih koper kami. Koper berat kulit buaya itu ringan saja di tangannya. "Ikut aku, dan pakai jaketmu." Kami membuntutinya menuruni tangga dan memasuki platform kereta underground. Terlepas dari sistem pemanas Bandara Schippol, kami langsung menggigil digigit suhu dingin delapan derajat celcius. Famke tergelak melihat kami gemelutuk. Ia sendiri hanya bercelana jeans ketat bolong- bolong dan tank top itu. "Jangan cemas, Kawan, kita segera naik kereta, nanti di dalam panas lagi," katanya. 4 Ikal-Peny. Aku takjub melihat gadis Belanda ini. Tak sedikit pun ia kedinginan. Tak heran Kumpeni bisa menjajah kita sampai karatan. Dari central station Amsterdam kami naik kereta menuju Brussel. Dalam sekejap, kami akrab dengan Famke. Ia tak berhenti bicara dan kami tak berkedip menatap kecantikannya. Seperti kami, ia juga penerima beasiswa Uni Eropa, ia mahasiswi Amsterdam School of the Arts. Ia mendalami street performances atau pertunjukan seni jalanan. Perspektifnya tentang seni jalanan amat memikat. "Jalanan adalah karya seni instalasi yang sempurna. Ia lurus, berhiaskan lampu dan bunga, menikung, menanjak, dan kadang-kadang buntu. Ia mengarahkan, meloloskan, menjebak, dan menyesatkan." Aku terpana. "Jalan tempat berparade, pamer kejayaan, juga tempat menggelandang. Jalan tempat lari dari kenyataan, tempat mencari nafkah. Orang hilir mudik di jalan, mereka bergerak indah, melamun, riang, dan berduyun-duyun, siapa mereka? Ke manakah mereka?" Belum pernah kudengar pandangan seperti itu, pandangan yang mengandung kecerdasan seni tingkat tinggi. "Jalanan seperti panggung dengan kemungkinan konfigurasi dekorasi yang amat luas. Semua kemungkinan seni dapat ditampilkan di jalanan. Seniman jalanan menghadapi tantangan seni terbesar." John Wayne Kereta meluncur melintasi Utrecht dan Dordrecht, terus melaju keluar Belanda lewat Breda, langsung ke kota kecil di pinggir Belgia, yaitu Brugge. Di sanalah akomodasi kami. Dari penduduk Belgia yang separuh berbahasa Belanda separuh Prancis, Brugge lebih Belanda. Kami tiba di muka pagar besi sebuah rumah bertingkat yang berdesain kaku dan berwarna hitam. "Oke, sampai di sini, Kawan. Temui...." Famke membuka sepucuk kertas. "Simon Van Der Wall. la landlord5 tempat ini. All set. Aku yakin kita akan berjumpa lagi." Kami bersalaman. "Senang sekali telah kenalan dengan kalian, take care." Berat sekali berpisah dengan Famke. la telah menjadi sahabat yang sangat baik. Sayang sekali ia harus mengejar kereta terakhir kembali ke Amsterdam karena ada keperluan mendesak. Induk semang/pemilik kost—Peny. Aku dan Arai memasuki halaman dan tertegun di depan pintu yang membingungkan. Diketuk berkali-kali, tak direspons; diputar-putar gagangnya, terkunci; didorong- dorong, macet. Dari kaca jendela, tampak beberapa orang ngobrol di dalam. Mereka melongok lalu kembali ngobrol karena tak kenal mereka merasa tak perlu membuka pintu. Kami mafhum, ini negeri mind your own business! Uruslah urusanmu sendiri. Tak ada bel. Yang ada, di samping pintu, hanya deretan kotak kecil, nomor-nomor lantai gedung, tombol-tombol, speaker, dan label nama. Aku memencet tombol berlabel Van Der Wall. Ding dong, bel melengking. Drreeeeeetttt ... disambut kumandang seseorang di speaker. "Oik! Hhrrgghh hoegnog nog geehhnn nog nog gog ggghrhrhrh ..." "Brghrrh... grrrrh ... oik! Oik!" Secuil pun tak kupahami, disambung lagi. "Grrhhh nog ikhh grrhhstgen grrrrrh ... oik!" Pasti bahasa Belanda, karena seluruhnya dibunyikan dari kerongkongan, berat seperti beruang menderam-deram. Dreett itu meraung lagi, lalu sepi. Kupencet lagi, ding dong... lembut bergema-gema. Dreeeetttt!! "Grrhhh nog!! Ikhh grrhhstgen grrrrrr!!!" Pasti dia jengkel. Diam. Sepi lagi, kupencet lagi. "Ghhirrr...!!" Senyap. Kupencet lagi. "Oiikkk!! Ghhhhrrrrrrrr!!" "Mis ... Mister ... Mister Van Der Wall...?" Aku mendekatkan mulut ke speaker. "Ghhhhrrrrrrrh!!" "Mister... Mister...." "Ghhhrrrrr!!Ghhhhrrrrrr!!" "Mister, English please ..." Diam sebentar, dreeeeeeetttttttt... plus jeritan histeris. "PUSH THE DOOR RIGHT AFTER THE BELL!" Dreeeettttttttttttt.... Kami cepat-cepat mendorong pintu, terbuka. Rupanya suara dreet yang tadi berulang kali melolong adalah alarm kunci pembuka pintu. Kami tertawa. Sederhana saja tampaknya perkara pintu ini, tapi inilah persentuhan pertama kami dengan individualisme. Sikap Van Der Wall, orang-orang yang ngobrol dan tak peduli meskipun tahu kami terjebak di muka pintu, teknologi pintu itu, gedung apartemen ini, sesungguhnya desain sosiologi orang Barat. Di lantai tiga kami melihat pintu ditempeli pelat: Simon Van Der Wall, MVgT, Building Manager. Kami mengetuk dengan sopan dan masuk ke dalam ruangan. Simon tinggi besar dan berewokan, santai tapi angker, duduk menekuri meja seperti burung pemakan bangkai menunggui mangsa. Seluruh wajahnya disita oleh hidung bongkoknya. Gayanya mengembuskan cerutu secara mencolok, sekali- gus menggelikan, jelas mencitrakan dirinya John Wayne. Bukan baru sekali aku berjumpa dengan tipe seperti ini, yaitu mereka yang masa remajanya tercekoki film macho konyol John Wayne, lalu sepanjang hidupnya mati-matian ingin seperti John Wayne. John Wayne wannabe istilahnya. Semenit bicara dengan Van Der Wall, aku langsung menyesal mengapa Famke buru-buru pergi. "Saya sudah berulang kali mengonfirmasi kedatangan kalian pada Jakarta, tak ada jawaban. "Memang ada kamar kosong, tapi sistem di sini tidak bekerja seperti ini. "Impossible," tukasnya tanpa perasaan. Kami tak diberi kesempatan berdalih. "Ini hari Minggu, kebetulan saja saya ada di kantor. Jika tidak, bahkan kalian tak bisa melewati pagar itu!" Sikap Van Der Wall delapan derajat celcius, lebih dingin satu strip dari suhu di luar. Kulihat Arai ingin marah dan aku ingin mengatakan bahwa kami tak tahu harus ke mana jika tak boleh tinggal di apartemen itu. Tapi kami tahu sikap itu hanya akan membuat Van Der Wall memuntahkan kata-kata yang lebih menyakitkan, misalnya: Itu bukan urusanku! Silakan menggelandang di luar, itu urusan kalian! Nasib kalian sial karena ketololan kalian sendiri! Atau, begitulah cara kalian orang Indonesia bekerja! Tak ada sistem! Tak bisa antisipasi! Tak efisien sama sekali! "Tunggu sampai besok, hubungi Dr. Woodward. Kalau administrasi beres, baru kalian bisa tinggal di sini." Dari jendela, kulihat lajur-lajur putih sepanjang jalan, berkilat tepi-tepinya karena bentangan es. Butir-butir kecil seperti terigu melayang-layang dari langit. Perutku naik menyundul- nyundul ulu hatiku. Betapa kerasnya dunia setelah ini. Kami keluar ruangan, sempat kulirik Van Der Wall. la mengawasi kami. Tubuhnya ia tumpukan pada tangan kanan yang menekan ambang pintu, sedikit nungging, seakan sepucuk pistol dan selempang peluru melilit pinggangnya. Tangan kirinya mengayun-ayunkan cerutu. Seringainya seperti ia baru saja menghalau cecunguk pelintas batas dari Meksiko, John Wayne palsu! Tengik bukan main. Kami meninggalkan gedung yang tak bersahabat itu, terseok memanggul ransel dan menyeret koper butut yang berat, tak keruan tujuan, yang ada dalam pikiran hanya bagaimana menyelamatkan diri dari sengatan dingin. Dalam rumah- rumah persegi berjendela kaca, orang berkerumun di ruang tamu, mengelilingi pohon natal, temaram, bersenda gurau, tak mau jauh dari jangkauan pemanas. Di sini tak bisa sembarang mengetuk pintu rumah orang. Pengalaman dengan Van Der Wall sedikit banyak mengajari kami, dan kami belum melapor pada pihak berwenang. Mengetuk pintu dalam keadaan seperti itu sangat mungkin berurusan dengan hukum. Motel tak tampak. Brugge sama sekali bukan tujuan wisata. Semua bangunan tertutup, tak seorang pun keluar rumah dan tak ada kendaraan melintas. Kami tak tahu bahwa semua orang bersiap untuk situasi gawat yang akan terjadi malam nanti. Suhu akan drop secara ekstrem. Kami malah mengobral diri, berkeliaran di alam terbuka, mengumpankan diri pada taring iblis musim salju. Arai membeli lilin di sebuah kios kecil yang kemudian langsung tutup. Kami bergerak terus agar tak membeku. Pohon-pohon menjadi putih. Jalan raya menyempit dilamun bongkahan es. Atap-atap digelayuti timbunan salju. Dari buku Collins World Atlas aku melihat Brugge tepat berada di sisi North Sea (Laut Utara), laut terdingin yang disarankan untuk dihindari selama winter (musim salju), karena dinginnya berbahaya. Laut Utara adalah mainstream laut es Artik di Kutub Utara. Jika winter tiba, bahkan burung- burung red knox di Brugge melarikan diri ke pantaipantai Italia. Di ujung Jalan Oudlaan kami menemukan bangku taman. Kami duduk di bawah naungan kanopi. Hujan salju makin lebat. Sunyi, mencekam. Desis angin berubah menjadi seribu mata lembing, menghujam tubuh kami yang lapar dan kedinginan. Seumur hidup dijerang suhu dalam kisaran tiga puluh empat derajat celcius, bahkan baru sehari yang lalu di Belitong kami bermandi panas tiga puluh sembilan derajat, kini kami menghadapi suhu yang bisa jatuh sampai minus. Malam merambat. Iblis es dari Kutub Utara gentayangan. Mula-mula menggigit daun telinga, berdenging, lalu men- cakar-cakar pipi, dan menyerap ke dalam tubuh, menusuknusuk tulang, membekukan sumsum. Kami terperangkap suhu dingin yang terus merosot sampai sulit bernapas. Pukul dua pagi, Arai mengeluarkan termometer, kami terbelalak, suhu telah terjun ke titik minus sembilan derajat celcius. Kami cemas karena sama sekali tak berpengalaman dengan suhu seekstrem ini. Tak seekor hewan pun tampak, semuanya berlindung di dalam liang, menyelamatkan diri dari gempuran salju yang buas. Semakin malam makin tak tertahankan. Embusan uap es dari Laut Utara menyapu Semenanjung Zeebruggae di perbatasan Belanda, melesat bebas bersiut-siut, yang menghalanginya hanya dua tubuh kurus anak Melayu yang seumur hidupnya tak pernah berjumpa dengan salju. Gelap mengerucut dililit dingin, suara alam lenyap terisap angin, bahkan angin sendiri membeku. Kami duduk berpelukan, lengket, mengerut, dan menggigil hebat. Gigi gemelutuk seperti perkusi tulang, jemari kisut dan perih. Tubuh gemetar tak terkendali seakan diguncang-guncang. Dingin menyengatku sekejam sengatan lebah yang paling berbisa, lalu kurasakan keganjilan dalam diriku. Pandanganku berputar dan aku tak merasakan kepalaku. Aku tak berkepala! Kemudian leherku tercekik. Aku meronta-ronta. Inikah serangan maut pulmonary adema? Arai menundukkan kepalaku, darah tumpah dari rongga hidungku, merah menyala di atas salju yang putih. Aku menghirup sedikit oksigen lalu kembali tercekik. Arai membuka syalnya, melilitkannya di leherku. "Bertahanlah, Tonto!" jeritnya panik. la membuka koper, mengeluarkan semua pakaian, dibalutkannya berlapis-lapis di tubuhku. Jemariku biru lebam, aku tersengal-sengal. Tiba-tiba Arai mengangkat tubuhku lalu pontang-panting, terhuyung-huyung melintasi timbunan salju setinggi lutut, menuju pokok pohon rowan. Aku ditidurkannya di tanah, di bawah rimbun dedaunan rowan. Mengapa Arai menidurkanku di tanah? Aku makin menderita karena tanah telah menjadi balok es. Aneh sekali kelakuan Arai. Apakah ia kalut dan menjadi gila karena tahu aku akan tewas? Tindakan Arai makin ganjil. Ia menimbuniku dengan daun-daun rowan. "Apa yang kaulakukan, Ranger?" Ia tak menjawab. Wajahnya cemas, mulutnya komat kamit, matanya sembap. Ia terus menimbuniku dengan daun. Aku tak dapat mencegahnya karena seluruh sendi tubuhku lumpuh. Arai menghiba-hiba, "Bertahanlah, Tonto! Jangan pergi! Jangan takluk!" Namun tubuhku makin lemah, lorong putih berkelebatkelebat dalam pandanganku. Beginikah rasanya ajal? Kesadaranku timbul tenggelam. Aku berusaha menguatkan diri, aku tak mau mati! Tak mau mati konyol seperti ini di hari pertama petualanganku! Aku masih ingin mengelana Eropa sampai ke Afrika, aku mau kuliah di Sorbonne, aku belum menemukan A Ling! Arai memelukku kuat-kuat, air matanya meleleh. "Bangun! Bangun!" ratapnya putus asa. Aku tahu, sesuatu yang fatal akan menimpaku. Suhu mungkin telah jatuh sampai minus belasan derajat. Aku tak 'kan tertolong. Detik demi detik merayap, lorong putih yang berkelebat itu padam, gelap, senyap. Kemudian pelan, pelan sekali, terjadi keajaiban. Hawa hangat yang halus berdesir di punggungku. Daun-daun busuk yang ditimbunkan Arai ke sekujur tubuhku seakan menguapiku. Arai melihat perubahan itu, ia kembali menimbuniku dengan daun rowan. Kesadaranku berangsur pulih, detak jantungku kembali normal, sedikit demi sedikit kukumpul-kumpulkan lagi nyawaku. Aku takjub menatap Arai, ia memekik girang. "Humus! Humus, Kawan. Humus Pyrus aucuparia menyimpan panas! Begitulah cara tentara Prusia bertahan di musim salju! Apa kau tak pernah membaca buku sejarah?" Aria kembali bersemangat menimbuniku dengan daun- daun rowan sambil tertawa terkekeh-kekeh. Untuk kesekian kalinya, sejak kecil dulu, aku kagum akan beragam ilmu-ilmu antik sang simpai keramat ini. Arai menyalakan lilin dan membuka bungkus plastik ikan teri sangon ibuku. Kami memanggang ikan mungil itu dengan cahaya lilin. Inilah gala dinner kami di Eropa. Bau ikan teri membangunkan keluarga tupai, kelinci, dan rakun mapache. Suasana semarak karena makhluk-makhluk itu jinak. Mereka mencicit-cicit gembira, pipinya gembil, sibuk memamah biak ikan teri, rakus tapi lucu. Anak-anaknya bermunculan dari liang hibernasi, malas, manja, dan gendut-gendut. Beberapa ekor berdiri, seolah berkata, "Selamat datang di Eropa, Pangeran Salju." Pagi sekali kami berjumpa orang-orang yang mengenakan kaus bertuliskan kampanye beraroma diskriminasi Belgy for the Belgium. Mereka tergopoh-gopoh, barangkali ingin berangkat unjuk rasa. The Belgium, begitulah penduduk asli Belgia menyebut diri mereka. Mereka sibuk berdemo untuk mengusir imigran yang mereka anggap telah merampok lapangan kerja. Salah satu dari mereka menunjuki kami arah menuju Stasiun Brugge. Hebat sekali kantor Uni Eropa, meraja di jantung kota Brussel, kukuh berwibawa melambangkan supremasi bangsa-bangsa Eropa. Arsitektur dasarnya seperti kuburan juragan kaya Tionghoa, seperti tubuh yang ingin memeluk. Maksud desain itu bukan hanya soal estetika, namun lengan- lengan yang merengkuh taman berlantai granit itu adalah rancangan untuk berlindung dari guncangan bom. Selain sebagai lambang digdaya, gedung Uni Eropa juga metafor paranoia, penyakit kronis orang Barat. Paranoia Di gedung itu berseliweran tentara dengan seragam berupa-rupa, tampak tentara bayaran yang gagah: legiun asing Prancis. Delegasi berbagai bangsa disambut para interpreter yang terpelajar. Bahasa-bahasa asing hiruk-pikuk. Delegasi Afrika hadir dengan atribut-atribut tradisinya: para wanita mengenakan amuria, amdu, dan bubu berwarna-warni dengan ikat kepala tinggi-tinggi. Pria-prianya berselempang panjang, berjubah yoruba, babariga, dan bertopi asa oke. Mereka sangat bergairah, barangkali ingin membicarakan program peternakan burung unta dengan para petinggi Uni Eropa. Setelah itu bergelombang kelompok orang dengan tanda pengenal Dominican Republic. Mereka juga gembira, menyapa setiap orang, tentu bersemangat akan mendiskusikan soal komputerisasi di kawasan Karibia. Wajah mereka optimis menatap masa depan. Terakhir, di pintu masuk untuk orang-orang yang kurang penting, di pojok sana, aku melihat segelintir manusia yang rasanya kukenal. Aku sering melihat mereka bertengkar soal minyak tanah di televisi tanah air. Mereka kelihatan semakin tidak penting dengan sosoknya yang kecil di antara raksasa hitam dan putih. Agak berbeda dengan delegasi lain, mereka kurang percaya diri, sedikit malu-malu, tertunduktunduk memasuki kantor Uni Eropa. Ini pasti soal utang piutang. Pengamanan di kantor Uni Eropa amat ketat. Jika tak menyebut nama Dr. Woodward jangan harap bisa melintasi sekuriti yang tak terhitung lapisnya. Kamera CCTV ter- pasang di mana-mana. Terakhir, lekuk-lekuk tubuh kami digeledah, ini untuk ketiga kalinya, oleh seseorang yang telah lupa bagaimana cara tersenyum. Lalu, seorang perempuan bertubuh penuh, bukan gendut, cantik dan pirang, menyambut kami. Ia tak mengucapkan apa pun selain good morning. Aku menduga ia seorang Skandinavia. Erika Ingeborg, nama perempuan itu, sekretaris Dr. Woodward. Benar sangkaku, ia seorang Skandinavia, Finlandia tepatnya. Ia tak begitu ramah, tapi jelas ia peduli, dan seperti Skandinavian umumnya: ia tampak cerdas dan efisien. Erika membawa kami ke kantor Dr. Michaella Woodward, pengambil keputusan terakhir beasiswa Uni Eropa. Aku selalu menduga Michaella orang yang temperamental. Dulu dibantingnya telepon waktu mewawancaraiku tentang akibat ekonomi penyakit sapi gila. Jawabanku memang tak keruan. Sekarang, sepintas melihatnya, aku langsung tahu kalau wanita Irlandia itu lebih keras dari dugaanku. Umurnya mungkin empat puluh lima tahun. Kerutan di pangkal hidungnya mengesankan ia sering mengambil keputusan dilematis yang berakibat pada hajat hidup orang banyak. Namun secara umum, ia sama sekali tak dapat dikatakan tidak menarik. Waktu remaja ia pasti seperti Claire Forlani, lalu dewasa mirip Carrie-Anne Moss, sekarang—setengah baya—ia tampak tak kurang dari Juliette Binoche, nanti jika tua ia akan mirip almarhumah Jessica Tandy. Michaella adalah seorang doktor ekonomi yang sangat cemerlang, dan seorang keynesian karena ia penganut ajar- an ekonom kondang John Maynard Keynes. Otomatis, ia juga seorang monetarist, yakni orang yang percaya bahwa sektor moneter (keuangan) adalah katalisator pembangunan ekonomi. Di sebuah jurnal ternama, Dr. Woodward pernah menulis artikel berjudul Why Monetary Reform Works? Bagi para ekonom, judul itu provokatif, karena makna generiknya adalah mengapa reformasi moneter berhasil membangun ekonomi, sedangkan reformasi sektor riil tidak? Artinya, Dr. Woodward terang-terangan mengibarkan bendera perang pada penganut ajaran klasik ekonom Adam Smith yang justru percaya bahwa sektor riil sebagai katalisator pembangunan ekonomi. Dr. Woodward adalah generasi kesekian yang melestarikan pertikaian kronis mazhab klasik dan mazhab moneter yang telah berlangsung ratusan tahun. Dalam berbagai forum, aku telah melihat sepak terjang keynesian. Kesimpulanku: jika tak siap dengan argumentasi cerdas dan data yang komplet, jangan berurusan dengan mereka. Keynesian adalah pendebat yang kompulsif, tak mau kalah. Aku gugup menemui Dr. Woodward. Lagi pula, ternyata kami datang pada waktu yang keliru karena Dr. Woodward sedang diprotes Famke Somers lewat telepon. Rupanya semalam Famke menelepon Simon Van Der Wall untuk menanyakan keadaan kami. Mengetahui perlakuan Simon, Famke menyemprot John Wayne kodian habis-habisan. Dr. Woodward juga marah dan celakanya, baru saja ia menutup telepon, masuklah empat orang pria. Tanpa basa-basi, mereka langsung mendebat Dr. Woodward. Seorang pria selalu melontar kata bernada tinggi: aberrant! S'effondrer! lnfere! Aku paham katakata Prancis itu, artinya: tak masuk akall Bangkrut! Implikasi! Pria kedua membantah dalam bahasa Spanyol: cuanto cuesta? lmporta, esta incluido!?. Pria ketiga sering menyebut rabota. Setahuku, itu kata Rusia untuk kerja. Pria keempat berbahasa Inggris. Mereka beradu pendapat, dan luar biasa, Dr. Woodward meladeni setiap orang dengan bahasa ibu mereka. Kurang dari sepuluh menit di ruangan itu aku telah mendengar Dr. Woodward bicara paling tidak dalam empat bahasa! Termasuk bahasa Rusia. Wajar saja Irlandia tak pernah dapat dijajah siapa pun. Si Prancis paling agresif. Jelas ia juga seorang keynesian. Ia dan si Inggris memihak Dr. Woodward. Mereka menyerang orang Spanyol dan Rusia itu—mungkin kedua orang ini penganut paham klasik Adam Smith. Debat memanas, akhirnya melalui sebuah teriakan marah, Dr. Woodward menyuruh mereka keluar. "Nanti kita sambung lagi!" cetusnya tak puas. "Aku mau mengurusi orang-orang Indonesia ini dulu!" Tubuh Dr. Woodward tampak kaku. Aku ngeri membayangkan ia berbalik dan melolong. "Apakah kalian juga pengikut Pak Tua Adam Smith itu?! "Kalau iya keluar dari ruangan ini! "Saya tidak menerima tamu selain monetarist! "Keluar!" Tapi itu tak terjadi. Ia berbalik dan mendesah. "Sungguh keterlaluan Simon Van Der Wall itu. Unbelievable! Terrible! Horrible!" Dr. Woodward berusaha ramah. la ingin menetralisir suasana. "Ok then, let's start over!! "Maafkan aku atas kejadian semalam, Anak Muda. Saya dengar suhu drop sampai minus enam belas, bagaimana kalian bisa bertahan? Outrageous!! Tapi jangan khawatir, Erika akan membawa kalian kembali ke Brugge dan membereskan semua persoalan dengan Simon, ok?" Erika menanggapi tanpa ekspresi. "Istirahatlah, besok kembali lagi. Seminggu ini kita akan membuat term of reference riset kalian. Sabtu depan kalian bisa ke Sorbonne." Mendengar kata Sorbonne, kerak-kerak es yang lengket di dinding hatiku berderak pecah dan meleleh. Bersama Erika kami kembali ke Brugge. Di jalan, Erika tak banyak bicara. la konsentrasi menyetir dengan sikap tubuh penuh tanggung jawab pada keselamatan penumpang. Kami sampai di apartemen Brugge. Di pintu apartemen, kami tak perlu memencet-mencet bel konyol itu. Di kantor Van Der Wall, Erika menolak dipersilakan duduk. Aku dan Arai berdiri di belakangnya. "Aku tak punya banyak waktu!" tegas Erika. "Simon, dengar ini baik-baik. Sediakan akomodasi lengkap untuk orang-orang ini." Kami bersorak dalam hati. "Bantu semua keperluan mereka dan registrasikan mereka segera ke Alien Police!" Pria Belanda itu mengerut di balik meja. Rasakan olehmu, John Wayne jadi-jadian! "Hari ini juga! Dan semua yang kaukerjakan harus kaulaporkan padaku paling lambat pukul tiga." Mana lagak tengikmu sekarang? Mana segala teorimu tentang sistem-sistem? "Kalau terjadi lagi peristiwa seperti semalam, kau akan berurusan denganku!" Van Der Wall beringsut-ingsut di kursinya. "Paham?!" Kawan, itulah contoh efisiensi Skandinavia. Tak heran bangsa Viking berulang kali menindas bangsa-bangsa lain di Eropa. Sementara kami menciut di belakang Erika. Tak heran bangsa kita tertindas selama tiga ratus lima puluh tahun.